Firli Bahuri.ist |
AKARTA – Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Prof. Dr. Suparji Ahmad, SH, MH, menyarankan agar penyidik Polda Metro Jaya (PMJ) mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus dugaan pemerasan yang melibatkan mantan Ketua KPK Firli Bahuri terhadap Sahrul Yasin Limpo (SYL). Hal tersebut disampaikan setelah Jaksa Peneliti Kejati DKI Jakarta mengembalikan Surat Perintah Dimulai Penyidikan (SPDP) karena berkas perkara tidak lengkap dan tidak memenuhi petunjuk Jaksa untuk melengkapi alat bukti.
Menurut Prof. Supardji, jika penyidik tidak dapat menemukan alat bukti yang cukup, perkara ini seharusnya dihentikan. "Jika tidak ada bukti atau tidak cukup bukti, maka konsekuensinya adalah perkara ini harus dihentikan," tegasnya dalam pernyataan kepada wartawan pada Sabtu (4/1/2025).
Prof. Supardji menjelaskan bahwa dalam hukum pidana, terdapat tiga alasan utama untuk mengeluarkan SP3: kurangnya bukti, peristiwa bukan tindak pidana, atau penyidikan yang kedaluwarsa. Jika dalam kasus Firli Bahuri tidak ditemukan bukti yang cukup, maka harus ada penghentian penyidikan.
Ia juga mengkritik lambannya kinerja penyidik dalam melengkapi berkas perkara, yang pada akhirnya berdampak pada ketidakmampuan Jaksa untuk membuktikan kebenaran perkara di persidangan. Prof. Supardji menekankan bahwa alat bukti harus didasarkan pada kenyataan yang ada dan tidak bisa dibuat-buat. "Bukti itu harus ditemukan, tidak bisa dikondisikan," ungkapnya.
Dengan pengembalian berkas perkara oleh Kejati DKI Jakarta, menurut Prof. Supardji, Jaksa telah menghindari beban pertanggungjawaban dalam persidangan yang berisiko merusak reputasi mereka. Jika alat bukti ditemukan, lanjutnya, perkara ini seharusnya dapat diselesaikan dengan cepat. Namun, jika alat bukti belum ditemukan, bisa jadi perkara ini tidak dapat dilanjutkan.
"Alat bukti itu tidak dicari, tapi ditemukan. Bukti harus sesuai dengan peristiwa pidana dan tidak bisa imajinatif," pungkasnya.rel