Padangsidimpuan - Sidang perkara Praperadilan dengan perkara No. 10/Pid.Pra/2024/PN.Psp yang digelar di PN Sidimpuan telah sampai pada tahap konklusi (kesimpulan) karena pemeriksaan bukti surat baik dari Pemohon maupun Termohon telah selesai begitu juga pemeriksaan saksi dan ahli Pemohon maupun saksi fakta dan Jaksa penyidik Termohon, sehingga sidang yang dipimpin Hakim Tunggal Dwi Srimulyati dan Panitera Penggantinya Irma Hablin Harahap telah sampai pada tahap kesimpulan dan sidang pembacaan putusan perkara itu akan dibacakan pada hari Selasa tanggal 17/9 sekira jam 14.00 WIB. ”Benar, sidang Prapid mantan Kadis PMD Sidimpuan telah masuk pada tahap kesimpulan, dan pada hari Selasa tanggal 17/9 sekira jam 14.00 WIB. Dan dari hasil pemeriksaan bukti surat maupun keterangan ahli pidana maupun ahli audit termasuk bukti surat dari Kejari Sidimpuan dapat kami simpulkan bahwa penetapan IFS dalam DPO dan Tersangkanya cacat hukum dan premature, sebab dari keterangan ahli audit (Sudirman,SE.,SH.,MM) menegaskan perkara pengelolaan dana ADD untuk dapat menetapakn tersangka terlabih dahulu harus ada Hasil Laporan audit timbulnya kerugian negara dan perkara ini setahu ahli tidak ada melampirkan hasil laporan audit sehingga penetapan tersangka terhadap sseseorang perkara ini premature, begitu juga seperti yang diterangkan ahli pidana (Dr. Edi Yunara,SH.,MH) dimana syarat menetapkan tersangka dlam perkara tipikor harus adanya dipastikan secara nyata dan jelas adanya kerugian Negara itu oleh pihak yang kompeten tanpa itu penetapan tersangka tidak sah dan premature, mengingat perkara ini bukanlah OTT atau gratifikasi.” Demikina diungkapkan Marwan Rangkuti selaku kuasa hukum istri IFS dikantornya Jl. Perintis Kemerdekaan No. 18.-B Padangsidimpuan pada wartwan.Marwan yang juga didampingi rekannya Jon Melki Sidabutar dan Ardian Holis Nasution menambahkan dalam pemeriksaan itu Kajari Sidimpuan menghadirkan Jaksanya sebagai saksi bernama Ali Asrion Harahap, dan pengakuannya Ali Asron menerangkan penetapan DPO IFS berdasarkan penetapan Kajari tanggal 20 Agustus 2023 bukan tanggal 31 Juli 2024, padahal dari bukti beberapa media massa tanggal 31 Juli 2024 dan rekaman konfrensi pers Lambok MJ Sidabutar, terbukti bahwa Kajari sudah mengumukan IFS sebagai DPO dan Tersangka pada tanggal 31 Juli 2024 namun Kajari diduga sengaja merekayasa surat penetapan DPO menjadi tanggal 20 Agustus 2024 (surat penetapan ini dijadikan bukti oleh Kajari dalam sidang Prapid) guna untuk menutupi kekeliruannya dalam membuat surat panggilan tersangka kepada IFS setelah diumumkan DPO oleh Kajari dalam konfrensi pers tersebut. “Oknum Kajari sudah berupaya menurutupi kesalahannya dengan membuat surat penetapan DPO IFS menajdi Tanggal 20 Agusutus 2024, padahal tanggal 31 Juli 2024 Lambok Sidabutar dengan lantang telah mengumumkan IFS sebagai DPO dan membuat surat panggilan tersangka keesokan harinya terhadap IFS, dan surat penetapan DPO tanggal 20/8 ini dibuat diduga karena adanya gugatan Prapid IFS. Sebab dalam gugatan Prapid Pemohon mendalilkan Kajari membuat panggilan tersangka kepada IFS setelah ianya mengumumkan status DPO IFS, artinya lebih dahulu penetapan DPO diumumkan Lambok daripada pemanggilannya sebagai tersangka dan ini tindakan yang sangat konyol sebagai seorang doctor hukum bukan? Dan selain itu, sekalipun Kajari itu mendalilkan Hakim Prapid harus mematuhi adanya SEMA No. 1 Tahun 2028, Ahli Pidana juga telah mematahkan argumentasi Lambok tersebut, dimana menurut ahli pidana bahwa kedudukan UU i.c Pasal 79 KUHAP mempunyai kedudukan lebih tinggi dari SEMA No. 1/2018 dan dalam hukum tidak boleh suatu aturan lebih rendah bertenatnagn dengan Undang_undang yang lebih tinggi sehingga penerapan SEMA tersebut tergantung hakim yang memutusnya sebab SEMA itu bukanlah bersifat imperative.” Tegas Marwan .rel