Leluhur Mataram di Wilayah Pati

Share:


Ist



Garda.id | Leluhur Mataram di Wilayah Pati


Purwadi

Ketua LOKANTARA. 

Hp 087864404347. 


A. Leluhur Kabupaten Pati


Kanjeng Sunan Paku Buwana II menghormati leluhur Mataram di Pati. Tiap tahun urusan Karaton Mataram hadir di Kabupaten Pati. Paku Buwana II sejak dinobatkan sebagai raja Mataram tahun 1726 juga kerap tedhak di wilayah Pati. Leluhur utama Kraton Mataram berasal dari Kabupaten Pati. Termasuk Syekh Jangkung yang menjadi penasihat Mataram. Kebijakan Mataram bersumber dari kejernihan wedharan Bumi Pati. 


Kawasan Gunung Kendheng sebagai sarana tolak balak berhubungan dengan kebijakan Mataram. Upacara kenegaraan Mataram atas pamrayoga sesepuh Pati. Berlaku sejak Panembahan Senapati memerintah Kraton Mataram tahun 1582. Pengakuan ini berlangsung turun tumurun. Upacara tolak balak dilakukan oleh Sultan Agung Hanyakra Kusuma. Raja Mataram tahun 1613-1645 ini rutin mengadakan wilujengan. Dengan panitia oleh abdi dalem purwa kinanthi. Hal ini melanjutkan tradisi pendiri Mataram. 


Leluhur kerajaan Mataram bernama Ki Ageng Penjawi yang menjadi pendiri Pati. Kawasan Gunung Kendheng oleh Trah Mataram digunakan sebagai sarana tolak balak. Dengan harapan masyarakat ayem tentrem bagya mulya lahir batin.

Adanya upacara tolak balak ini diturunkan sejak jaman Kraton Demak Bintara tahun 1478. Ki Ageng Tarub mendidik putranya untuk melestarikan adat Istiadat Kejawen. Agar tanah Jawa rahayu lestari. Nir baya, nir bita, nir sambikala. 


Ki Ageng Ngerang menerapkan ajaran Ki Ageng Tarub di gunung Kendheng. Tonggak sejarah Pati dimulai berkat jasa Ki Ageng Penjawi. Beliau menjadi pahlawan besar saat terjadi krisis politik di Kerajaan Pajang pada tahun 1560. Pemberontakan Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan cukup menguras energi. Gerakan sparatis ini harus dihadapi dengan strategi yang tepat. Mengingat Arya Penangsang terkenal sebagai Adipati yang sakti mandraguna.


Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir yang bertahta sejak tanvgal 1 Juli 1546 segera bertindak cepat tepat. Sahabat seperguruan yang terpercaya diajak bicara masalah kenegaraan. Datanglah Ki Ageng Penjawi, Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Juru Martani. Ki Ageng Penjawi ahli tata praja yang memiliki jaringan umara dan ulama kawasan pesisir.

Kehadiran mereka mulai dari Lamongan, Gresik, Tuban, Bojonagoro, Rembang, Pati, Jepara, Demak, Semarang, Kendal, Tegal dan Banyumas. Mereka terdiri dari alumni muri Sunan Kalijaga di Kadilangu. Sebagian juga siswa Syekh Siti Jenar di Padepokan Lemah Bang.


Ki Ageng Pemanahan merupakan penasihat utama Sultan Pajang. Beliau mewarisi ajaran Ki Ageng Enis, Ki Ageng Sela, Getas Pendhawa dan Ki Ageng Tarub. Bila ditelusuri lebih lanjut, Ki Ageng Pemanahan masih trah Bupati Tuban, yakni Dewi Rasa Wulan. Seorang putri Adipati Wilwatikta yang menikah dengan Syekh Magribi. Adapun Juru Martani ahli siasat perang, pakar pemerintahan dan mumpuni dalam mengatur psikologi massa. Singkat kata Arya Penangsang yang mempunyai pusaka Brongot Setan Kober bisa ditaklukkan dengan sukses gemilang.

Tiap menjalankan tugas kenegaraan, Ki Ageng Penjawi selalu lelaku di lereng gunung Kendheng. Para pendherek mengikuti upacara wilujengan. 


Pertempuran besar meletus di Kali Bengawan Sore. Arya Jipang naik kuda Gagak Rimang. Berhadapan dengan Danang Sutawijaya atau Ngabehi Loring Pasar. Dia naik kuda Sri Bombok. Gagak Rimang adalah kuda jantan. Sri Bombok adalah kuda betina. Begitu menatap kuda Sri Bombok, seketika kuda Gagak Rimang muncul birahi. Arya Penangsang tak mampu mengendalikan Gagak Rimang. 


Kali Bengawan Sore yang banjir meluap itu diseberangi kuda Gagak Rimang. Padahal menurut paugeran, siapa yang menyeberangi kali Bengawan Sore pada hari Kamis Paing, dirinya akan apes. Betul sekali, dalam peperangan itu Arya Penangsang binasa oleh Danang Sutawijaya yang membawa pusaka Tombak Kyai Pleret.


Atas jasa yang besar itu Ki Ageng Penjawi mendapat hadiah bumi Pati. Sedangkan Ki Ageng Pemanahan diberi ganjaran Alas Mentaok. Adapun Ki Ageng Juru Martani mendapat imbalan Tanah Kedu. Hanya saja tanah Kedu itu diberikan kepada Ki Ageng Karotangan yang berpusat di Paremono, Muntilan, Magelang. Tiga serangkai itu pasti pentas dalam peradaban Mataram secara turun temurun. Ki Ageng Penjawi bertapa di gunung Kendheng. 


Konsolidasi politik Ki Ageng Penjawi melalui jalur kekerabatan bupati dan perkawinan dengan pusat kekuasaan. Anak Ki Ageng Penjawi bernama Ratu Waskitha Jawi menikah dengan Panembahan Senopati, raja pertama Mataram. Posisi trah Pati sangat penting dan strategis. Sebagai garwa prameswari, anak Ratu Waskitha Jawi berhak penuh atas tahta kerajaan Mataram. Cucu Ki Ageng Penjawi atau yang bernama Raden Mas Jolang ditetapkan sebagai raja Mataram. Beliau menggantikan Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati Raja Mataram keturunan Pati ini bergelar Sinuwun Prabu Hadi Hanyokrowati yang memerintah dengan bijaksana tahun 1601-1613.


Kabupaten Pati menjadi daerah yang sangat istimewa di mata Kerajaan Mataram. Kebijakan negeri Mataram banyak yang berasal dari para sarjana Pati. Misalnya Adipati Pragola yang ahli militer, Arya Jepara yang ahli ukir-ukiran dan Arya Pangiri yang pintar mengatur pelabuhan, pelayaran serta perdagangan. Tentu saja peran strategis ini tidak lepas dari arahan Ki Ageng Penjawi selaku Bupati Pati pertama. Posisi Ratu Waskitha Jawi sebagai the first lady Mataram juga amat dominan terhadap nasib sejarah Kabupaten Pati.

Sinuwun Prabu Hadi Hanyokrowati menjadi menantu Pangeran Benawa, putra Sultan Hadiwijaya Pajang. Beliau menikah dengan Kanjeng Ratu Banuwati. Putri Pajang ini cantik jelita, cerdas, trampil, aktif dan berwawasan luas.


Kanjeng Ratu Banuwati pernah diasuh oleh Kanjeng Ratu Kalinyamat di Jepara. Pernikahan Prabu Hadi Hanyakrawati ini memperkuat posisi trah Pati di Kerajaan Mataram. Karena Ratu Banuwati mewakili trah Pajang dan Demak. Dari pernikahan ini lahir Raden Mas Jatmika. Pada tahun 1613 Raden Jatmika menjadi raja Mataram dengan gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma.


Hubungan dengan kabupaten Pati bertambah kokoh. Penasihat utama Sultan Agung adalah Syekh Jangkung Saridin. Malah Syekh Jangkung dinikahkan dengan kakak Sultan Agung yang bernama Retno Jinoli. Kedua insan ini dimakamkan di desa Landoh, Kayen, Pati. Perjalanan sejarah Kabupaten Pati penuh dengan kebajikan, keteladanan, kepahlawanan, keluhuran dan keutamaan.


Pertapan Gunung Kendheng oleh digunakan Sultan Agung untuk meditasi. Dari sini muncul kitab Sastra gendhing, serat Pangracutan dan serat nitipraja. Sultan Agung dan Retno Jinoli adalah putra Prabu Hadi Hanyakrawati yang memerintah tahun 1601-1645. Raja Mataram yang bijak bestari ini punya leluhur di Pati. Yakni Ki Ageng Penjawi, Ki Ageng Ngerang dan Syekh Jangkung. 


B. Trah Demak Pajang Mataram


Paku Buwana II Mengajarkan Konsep Kepemimpinan di Pati. Wilayah Pati dikunjungi oleh Paku Buwana II pada tahun 1729. Acara ini dilengkapi pula dengan ceramah tentang kawruh tata praja. 


Tak lupa beliau membahas leluhur Mataram. Guru spiritual Sultan Agung adalah Syekh Jangkung dan Retno Jinoli. Kerajaan Mataram bertambah jaya makmur. Nasihat ahli kebatinan menjadi bahan pertimbangan dalam memerintah Kraton Mataram. 


Pewaris ngelmu tata praja Mataram di Padepokan gunung Kendheng adalah Retno Jinoli. Istri Syekh Jangkung memberi pelajaran tentang unggah ungguh ing basa, kasar alusing rasa, jugar genturing tapa. 


Sistem pewarisan ngelmu tata praja berada di padepokan gunung Kendheng. Daftar Bupati Pati ini menjadi pewaris ajaran Ki Ageng Penjawi. Lewat putrinya, yakni Ratu Waskitha Jawi, orang Pati mendapat kawruh tata praja di Negeri Mataram. 


1. Ki Ageng Penjawi 1568-1576. Dilantik pada masa kerajaan Pajang. Rajanya bernama Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya


2. Raden Sidik, bergelar Djajakoesoema I 1577-1601. Dilantik pada masa kerajaan Mataram, Rajanya bernama Panembahan Senapati.


3. Djajakoesoema II, Ki Arya Pagedongan 1601-1628. Dilantik pada masa kerajaan Mataram, Rajanya bernama Prabu Hadi Hanyakrawati.


4. Tumenggung Djajakoesoema III 1628-1640. Dilantik pada masa kerajaan Mataram, Rajanya bernama Sultan Agung Hanyakra kusuma


5. Tumenggung Djajakoesoema IV 1640-1650


Dilantik pada masa kerajaan Mataram, Rajanya bernama Sultan Agung Hanyakrakusuma


6. Tumenggung Djajakoesoema V 1650-1670


Dilantik pada masa kerajaan Mataram, Rajanya bernama Sri Susuhunan Amangkurat Tegal Arum


7. Lepek, Mangun Oneng I 1670-1678


Dilantik pada masa kerajaan Mataram, Rajanya bernama Sri Susuhunan Amangkurat Tegal Arum


8. Widjo, Mangun Oneng II 1678-1682


Dilantik pada masa kerajaan Mataram, Rajanya bernama Sri Susuhunan Amangkurat Tegal Arum


9. Widjo, Mangun Oneng III 1682-1690


Dilantik pada masa kerajaan Mataram, Rajanya bernama Sri Susuhunan Amangkurat Amral


10. Tumenggung Tirtono 1690-1703


Dilantik pada masa kerajaan Mataram, Rajanya bernama Sri Susuhunan Amangkurat Amral


11. Abroenoto, Mangoen Oneng III 1703-1708


Dilantik pada masa kerajaan Mataram, Rajanya bernama Sri Susuhunan Amangkurat Mas


12. Soemodipoero 1708-1719


Dilantik pada masa kerajaan Mataram, Rajanya bernama Sri Susuhunan Paku Buwono I


13. Pangeran Koming, Pamegat Sari I, 1719-1830


Dilantik pada masa kerajaan Mataram, Rajanya bernama Sri Susuhunan Amangkurat Jawi


14. Pangeran Kuning, Pamegat Sari II 1730-1740


Dilantik pada masa kerajaan Mataram, Rajanya bernama Sri Susuhunan Paku Buwono II


15. Raden Wiratmodjo II, Pamegat Sari III 1740-1755


Dilantik pada masa kerajaan Mataram, Rajanya bernama Sri Susuhunan Paku Buwono II


16. Pangeran Arya Megatsari III 1755-1773


Dilantik pada masa kerajaan Surakarta Hadiningrat, Rajanya bernama Sri Susuhunan Paku Buwono III


17. Pangeran Arya Megatsari IV 1773-1807


Dilantik pada masa kerajaan Surakarta Hadiningrat, Rajanya bernama Sri Susuhunan Paku Buwono III


18. Sosrodiningrat Mangunkusumo 1807-1808


Dilantik pada masa kerajaan Surakarta Hadiningrat, Rajanya bernama Sri Susuhunan Paku Buwono IV


19. Kiai Adipati Tjonronegoro 1808-1812


Dilantik pada masa kerajaan Surakarta Hadiningrat, Rajanya bernama Sri Susuhunan Paku Buwono IV


20. Kandjeng Pangeran Ario Tjondro Adinegeoro I 1812-1820


Dilantik pada masa kerajaan Surakarta Hadiningrat, Rajanya bernama Sri Susuhunan Paku Buwono IV


21. Kandjeng Pangeran Ario Tjondro Adinegeoro II 1820-1825


Dilantik pada masa kerajaan Surakarta Hadiningrat, Rajanya bernama Sri Susuhunan Paku Buwono V


22. Kandjeng Pangeran Ario Tjondro Adinegeoro III 1825-1834


Dilantik pada masa kerajaan Surakarta Hadiningrat, Rajanya bernama Sri Susuhunan Paku Buwono VI


23. Kandjeng Pangeran Ario Tjondro Adinegeoro IV 1834-1850


Dilantik pada masa kerajaan Surakarta Hadiningrat, Rajanya bernama Sri Susuhunan Paku Buwono VII


24. Kandjeng Pangeran Ario Tjondro Adinegeoro V 1850-1864


Dilantik pada masa kerajaan Surakarta Hadiningrat, Rajanya bernama Sri Susuhunan Paku Buwono IX


25. Kandjeng Pangeran Ario Tjondro Adinegeoro VI 1864-1896


Dilantik pada masa kerajaan Surakarta Hadiningrat, Rajanya bernama Sri Susuhunan Paku Buwono IX


26. Raden Adipati Ario Tjondro Adinegoro VII 1896-1904


Dilantik pada masa kerajaan Surakarta Hadiningrat, Rajanya bernama Sri Susuhunan Paku Buwono X


27. Raden Toemenggong Prawiro Werdojo 1904-1934


Dilantik pada masa kerajaan Surakarta Hadiningrat, Rajanya bernama Sri Susuhunan Paku Buwono X


28. Raden Adipati Ario Soewondo 1907-1934


Dilantik pada masa kerajaan Surakarta Hadiningrat, Rajanya bernama Sri Susuhunan Paku Buwono X


29. K.G.P. Dipokoesoemo 1934-1935


Dilantik pada masa kerajaan Surakarta Hadiningrat, Rajanya bernama Sri Susuhunan Paku Buwono X


30. R.T.A Milono 1935-1945


Dilantik pada masa kerajaan Surakarta Hadiningrat, Rajanya bernama Sri Susuhunan Paku Buwono X


31. M. Moerjono Djojodigdo 1945-1948


Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno


32. Raden Soebijanto 1950-1952


Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno


33. Soekardji Mangoen Koesoemo 1952-1954


Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno


34. Palal al Pranoto 1954-1957


Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno


35. M. Soermardi Soero Prawiro 1957-1959


Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno


36. M. Soetjipto 1959-1967


Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno


37. A.K.B.P Raden Soehargo 1967-1971


Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto


38. Kol. Inf. Panudju Widajat 1971-1973


Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto


39. Kol. Pol.Drs. Edy Rustam Santiko 1973-1979


Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto


40. Drs. Soeparto Soewondo 1979-1981


Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto


41. Kol. Art. Saoedji 6 1981-1991


Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto


42. Kol. Kav. Sunardji 1991-1996


Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto


43. Kol. Art. H. Yusuf Muhammad 1996-2001


Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto


44. H. Tasiman, SH wakil Drs. Kotot Kusmanto 2001-2006


Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Megawati


45. H. Tasiman, SH wakil Kartika Sukawati, SE. MM 2006-2010


Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono


46. H. Haryanto, SH, MM, M.Si. wakil Budiono 2012-2017


Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono


47. H. Haryanto, SH, MM, M.Si. wakil H. Saiful Arifin 2017-


Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.


Para pemimpin Pati senantiasa memetri seni edi peni. Kanjeng Sultan Agung amat perhatian dengan leluhur Pati. Tambah dekat lagi setelah Syekh Jangkung berjodoh dengan Retno Jinoli. Pasangan ini ahli ilmu satataning panembah. Jroning urip ana urup. 


C. Pancaran Budaya Pati


Paku Buwana II Membina Seni Budaya Pati. Kedatangan Paku Buwana II di Pati pada tahun 1728. Bersama abdi dalem Mandra Budaya, diadakan pelatihan seni karawitan dan pedalangan. Pakem dikenalkan sebagai bahan pengajaran. 


Dalam kunjungan ini lantas terjadi sarasehan keagamaan yang membahas ilmu kasampurnan. 

Pengajaran ilmu kasampurnan Syekh Jangkung meliputi sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Rasa jati, Sari rasa jati, sarira sajati. Peguron ngelmu Kejawen ini diselenggarakan di puncak Gunung Kandha. 


Dalam serat pustaka raja diulas keberadaan gunung Kendheng atau gunung Kandha. Sultan Agung membantu Syekh Jangkung untuk menyebarkan kawruh sangkan paraning dumadi. 

Tokoh Pati pelestari seni budaya membuat kegiatan sistem belajar. Ilmu warisan Sultan Agung berkembang pesat. Termasuk dalam bebtuk sanggit pedalangan. 


Wayang merupakan seni adi luhung peninggalan nenek moyang yang perlu dilestarikan. Kesenian wayang mengandung unsur pendidikan yang dapat digunakan untuk membentuk kepribadian dikalangan generasi muda. Keberadaan wayang mencakup berbagai unsur yang perlu pengkajian dan penelitian sehingga memudahkan sekalian warga bangsa untuk memahami nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran pewayangan.  Ajaran wayang purwa dalam masyarakat ternyata beragam bentuk dan penyajiannya. Penelitian wayang diharapkan dapat mengungkapkan aspek tatanan, tuntunan, dan tontonan. Penelitian pertama yaitu untuk pementasan wayang. Ada rumah joglo Jawa klasik. 


Tempatnya di desa Sambirejo, Kecamatan Gebus, Kabupaten Pati. Rumah joglo ini tampak indah. Daerah Pati banyak rumah joglo kuna. Maklum di sekitar gunung Kendeng banyak tumbuh pohon jati. Kayu jati kualitas bagus tumbuh di pegunungan kapur. Wilayah ini banyak tumbuh kesenian Jawa seperti wayang, tari, gamelan, kethoprak dan kerawitan. Seni pewayangan perlu diteliti dari segi kesejarahan. Dari perspektif historis perkembangan wayang di Kabupaten Pati terkait dengan masa sejarah kraton Jawa. Tiap-tiap raja Jawa yang berkuasa memiliki hubungan struktural dengan Kabupaten Pati. Oleh karena itu dalam menganalisa seni pedalangan pun akan lebih lengkap manakala dikaitkan dengan kerajaan yang pernah berkuasa ditengah Jawa. Misalnya kerajaan Majapahit, Demak, Pajang dan Mataram. 


Kerajaan Mataram pada masa awal dibangun dengan sistem akulturasi budaya. Panembahan Senapati mementaskan wayang purwa dengan lakon Babad Wanamarta. Hal ini bertujuan untuk memberi legitimasi atas berdirinya kerajaan Mataram. Pada masa pemerintahan Sinuwun Prabu Hanyakrawati dipentaskan lakon Mbangun Candi Saptaharga. Lakon ini bertujuan untuk menghormati leluhur darah Barata. Dalam hal ini Kabupaten Pati memang istimewa karena putri Ki Ageng Penjawi menjadi permaisuri Panembahan Senapati. Dengan demikian raja Mataram memang masih keturunan daerah Pati.


Unsur Hindu Budha Islam dalam pewayangan disempurnakan oleh Sultan Agung. Pemerintahan Amangkurat Agung kerap dipentaskan Lakon Dewaruci. Ketika Mataram pindah ke Kartasura wayang tambah semarak. Industri wayang berkembang pesat. Dalang -dalang dari Pati banyak belajar pedalangan di Kartasura. Masa Kraton Surakarta malah banyak seniman Pati yang belajar dan mengabdi di kota Bengawan. Sampai sekarang pewayangan gagrag Pati banyak dipengaruhi oleh pedalangan gaya Surakarta. Namun demikian pengaruh lingkungan dan teknologi tetap memperkaya kesenian wayang gaya Pati. 


Dalam lintasan sejarah pendiri Pati adalah Ki Ageng Penjawi yang gemar nanggap wayang. Beliau hidup pada masa Kesultanan Pajang dan awal Kerajaan Mataram. Secara berurut-an wayang gaya Pati mengikuti pola estetika Mataram Kota Gedhe, Kartasura, dan Surakarta. Sampai saat ini pedalangan Pati selalu berkiblat dengan gaya Surakarta. Namun saat jaya Pati mengalami perkembangan yang dinamis.


Kerajaan Mataram pada masa awal dibangun dengan sistem akulturasi budaya. Panembahan Senapati mementaskan wayang purwa dengan lakon Babad Wanamarta. Hal ini bertujuan untuk memberi legitimasi atas berdirinya kerajaan Mataram. Pada masa pemerintahan Sinuwun Prabu Hanyakrawati dipentaskan lakon Mbangun Candi Saptaharga. Lakon ini bertujuan untuk menghormati leluhur darah Barata.


Unsur Hindu Budha Islam dalam pewayangan disempurnakan oleh Sultan Agung. Pemerintahan Amangkurat Agung kerap dipentaskan Lakon Dewaruci. Ketika Mataram pindah ke Kartasura wayang tambah semarak. Industri wayang berkembang pesat. Dalang dalang dari Pati banyak belajar pedalangan di Kartasura. Masa Kraton Surakarta malah banyak seniman Pati yang belajar dan mengabdi di kota Bengawan. Sampai sekarang pewayangan gagrag Pati banyak dipengaruhi oleh pedalangan gaya Surakarta. Namun demikian pengaruh lingkungan dan teknologi tetap memperkaya kesenian wayang gaya Pati.


Menurut Bapak Hadi pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pati ada dua dalang Pati yang amat kreatif. Beliau adalah Ki Kartopel dan Tri Linuwih. Kedua dalang ini mampu kreatif yang memadukan antara unsur tradisi dan modern. Teknologi lighting dan humor kontemporer dikemas dalam bentuk seni pedalangan. Dalam hal ini pentas pewayangan sudah mulai terpengaruh ciri ciri pakeliran komersial.


Desa Trimulyo Kecamatan Kayen kabupaten Pati terdapat dalang Ki Kartubi. Dalang sepuh ini memiliki keturunan seniman. Bapak dan kakeknya juga seorang dalang. Ada lagi dalang Pati yang bernama Ki Muharso. Juga Wiwin Nusantara menjadi dalang terkenal. Ki Wiwin Nusantara lebih yunior. Rumah dekat dengan Ki Kartubi. Ki Bowo juga dalang. Rumah dekat Syekh Jangkung. mereka selalu mengembangkan seni budaya adi luhung. Ki Wiwin masih keponakan dalang Enthus Tegal.


Ki Kartubi atau Kartopel ramah tamah. Pernah Ki Kartubi pentas di Pontianak Kalimantan Barat. Istri Ki Kartubi adalah seorang guru SD. Namanya Mujiati. Putrinya bernama Dian Puji Meirani, alumn STIE Widya Wiwaha Hp. 081225806555. Dengan dicantumkan kontak person ini memudahkan peneliti untuk mengadakan wawancara serta menggali sumber data.


Wawancara dilanjutkan dengan Ki Bowo. Tahun 1982 Transmigrasi di Pekanbaru Riau. Selama lima tahun berada di Pulau Sumatra. Dua anaknya bekerja di pelayaran. Dulu sekitar tahun 1980-1990 an rata rata bisa dapat tanggapan 10-15 kali. Muncul sebagai dalang yang laris. Saat ini sedang ada hajatan sedekah bumi. Di Pati selalu pentas wayang. Menurut Ki Bowo pedalangan Pati lebih banyak berkiblat pada gaya Surakarta. Lakon dalang Pati pernah dipentaskan oleh Aji Serat. Cerita pra Sinta. Narasi dan sumber umumnya dari folklor, seperti contoh yang diberikan pada anak dari ayahnya. Berkembang atas dasar cerita lesan.


Ki Bobot Wibowo desa Landoh, Kecamatan Kayen, Pati. Pengamatan beliau selaku Ketua Pepadi gaya pedalangan Pati banyak dipengaruhi oleh seni populer. Sebagai anak carik desa Brati, Kayen Pati juga bekerja di sawah, angon dan ngarit. Lahir tahun 1959. Beliau selalu laku prihatin. Kerap tapa atau menjalankan spiritual. Pakeliran masih utuh, sempurna, jangkep, lengkap. Siang malam pentas. Belum menggunakan speaker. Embahnya punya gamelan lengkap. Maka dalang Bowo pintar main gambang. Cengkok gambang Solo. Laku dalang bermula dari bapaknya wafat. Pak Carik meninggal di RS Semarang. Lantas kerja di bank thithil, bank plecit, koperasi. Dari sinilah ki Bowo berkarir. Bermodal jual beli keberuntungan.


Sihing Kridha Murti atau SKM wadah pedalangan. Tiap Jumat gladhen wayang. Ki Bowo pun belajar. Belajar cekelan wayang, sabetan, dhodhogan. Meniru adegan Ki Anom Suroto atau Ki Nartosabdo. Dialek Pati pun tidak begitu menonjol dalam pakeliran. Ki Bobot Wibowo pintar hidup bermasyarakat, bergaul, dan berinteraksi. Terbukti rekan-rekan sesama dalang dari luar selalu mampir ke rumah tiap kali mau pentas wayang di Pati. Sebut saja Ki Cahyo Pamungkas, Ki Warseno Slenk, Ki Purbo Asmoro. Umumnya pelaku budaya Surakarta. 


Ilmu Kejawen bermakna luhur. Dasar dasar seni pedalangan hendaknya dipelajari oleh para pemula. Pementasan untuk anak anak yang mau belajar pedalangan sebaiknya dimulai dengan tahap tahap sesuai dengan pakem. Pagelaran dimulai dari gending patalon, sabetan, cepengan, dhodhogan dan antawacana. Juga perlu belajar suluk, ada ada, gendhing. Dasar dasar seni pedalangan itu menurut Ki Bobot Wibowo memperkuat kualitas pedalangan. Contoh yang diberikan untuk mengiringi pentas pewayangan di Pati dengan menampilkan gending Singa Nebak laras slendro pathet nem. 


Lancaran Singa Nebak itu digunakan untuk mengiringi lagu budhalan. Para prajurit dan komandannya akan tampak anggun bila lagu Singa Nebak itu digarap dengan serasi. Keserasian antara kerawitan dengan tari, gerak dengan bunyi akan menimbulkan suasana semangat, meriah dan gembira. Penonton wayang memang menunggu saat saat episode budhalan ini.


Dalang memang mempunyai posisi sentral dalam pakeliran wayang purwa. Pengalaman Ki Bobot Wibowo dalam bidang kesenian pantas untuk dijadikan rujukan bagi dalangdalang muda. Beliau punya 1 kotak wayang yang dibeli dari Masaran Wonogiri. Serat Kandha memberi kisah gunung Kandha atau gunung Kendheng. Belajar kendang tersedia di rumahnya. Kebetulan sekali rumahnya berjarak 200 m dari Makam Syekh Jangkung atau Syekh Saridin. Tempatnya di Nglandoh Kayen Pati. Jelas sekali pengaruh Mataram jaman Sultan Agung. Kakak Sultan Agung yang bernama Retno Jinoli adalah istri Syekh Saridin. Boyongan Retno Jinoli dihormati dengan pentas wayang purwa.


Kawasan Gunung Kendheng kabupaten Pati memiliki beragam kesenian yang dapat dijadikan sebagai objek penelitian. Bila dikaji dari perspektif etnolinguistik wayang gaya Pati karena pengaruh dialek bahasa setempat. Masyarakat Rembang, Jepara, Pati, Kudus, Blora, memiliki dialek khusus sehingga unsur-unsur logat setempat berpengaruh pada bahasa pedalangan Pati. Adanya unsur dialek itu tentu memperkaya perbendaharaan dunia pewayangan.

Pengkajian atas seni budaya Pati berguna untuk menyusun langkah langkah strategi kebudayaan. Ada penemuan yang bermakna atas penelitian wayang di Pati. Baik dalang Kartubi dan dalang Bobot Wibowo belum melakukan regenerasi seni. Kedua dalang itu tak mempunyai anak yang dapat main wayang. 


Dalang dekat dengan ilmu Kejawen. Di sini profesi seorang dalang tak mesti dapat diwariskan pada anak anaknya. Kejadian ini mesti mendapat perhatian dari masyarakat Pati. Padahal kebanyakan dalang itu adalah profesi keturunan. Faktor gen dalang itu lebih mudah untuk menjadi seorang dalang. Daerah Pati pun begitu. Dulu bapaknya dalang, maka anak anaknya pun memilih profesi dalang. Dalam sejarahnya masyarakat Kayen, tambakromo, sukolilo peduli pada budaya adi luhung. Pelaku budaya Pati selalu selalu mengutamakan ngelmu laku. Guru Kejawen sepanjang gunung Kendheng atau gunung Kandha ibarat pepundhen. 


Pada masa kerajaan Mataram ada tokoh dalang. Dia bernama Ki Dalang Panjang Mas. Untuk itu Sultan Agung raja Mataram berkenan mendirikan lembaga pendidikan seni. Sebagai pengelola pendidikan adalah Syekh Jangkung dan Retno Jinoli. Mataram makin harum semerbak wangi. 


D. Kawasan Sukolilo Tambakromo Kayen


Paku Buwana II Berkunjung ke Petilasan Syekh Jangkung. 

Pertapan Syekh Jangkung di Landoh Kayen Pati. Pasangan Syekh Jangkung dan Retno Jinoli diberi tugas untuk membina masyarakat sekitar Gunung Kendheng. Sultan Agung mendukung penuh usaha pendidikan budi pekerti luhur. Teladan leluhur Mataram di Pati dipelajari oleh Paku Buwana II sejak tahun 1716. Kedatangannya bersama Sinuwun Paku Buwana I raja Mataram tahun 1708 - 1719.


Kerajaan Mataram membantu berdirinya padepokan Syekh Jangkung. Masyarakat diberi wejangan tentang kawruh kasampurnan. Pertapan Landoh Kayen Pati mengajari para santri. Agar menjadi insan kamil yang bijak bestari. Makam Syekh Jangkung di desa Landoh Kecamatan Kayen Kabupaten Pati. Rombongan Kraton Surakarta melakukan ziarah spiritual dipimpin oleh GKR Galuh Kencono dan GKR Retno Dumilah, pada hari Sabtu 17 Maret 2018. Bertepatan dengan hari Nyepi.


Ribuan peziarah datang berduyun duyun tiap hari. Syekh Jangkung dikenal sebagai tokoh mumpuni. Beliau sakti mandraguna. Makamnya selalu ramai pengunjung dari kalangan kejawen. Makamnya didampingi dua garwa, yaitu Pandhanarum dari Kerajaan Cirebon. Kedua Retno Jinoli dari Kerajaan Mataram. Retno Jinoli adalah mbakyu Sultan Agung, raja Mataram. Asal usul Syekh Jangkung berasal dari desa Miyono. Dulu dikenal dengan nama Saridin. Syekh Jangkung memang pepundhen sejati. 


Alam Gunung Kendheng atau gunung Kandha menawarkan aura spiritual tinggi. Rombongan Kraton Surakarta lantas menghadiri upacara di makam Bagus Kuncung. Tokoh spiritual ini cukup berpengaruh di kawasan Gunung Kendheng. Begitu datang langsung diambil dengan bunyian drumb band Madrasah Aliyah Kayen Pati. Aparat Pemkab Pati dipimpin oleh Bupati Pati. Adat istiadat di sekitar pegunungan Kendheng memang mengakar kuat.


Masyarakat berkumpul. Mereka begitu bersemangat. Tradisi menjadi darah daging, ibu-ibu beserta anak anaknya berdiri sepanjang jalan. Mereka berjalan kaki sepanjang 1 km. Wajah bersinar-sinar untuk menuju makam Bagus Kuncung. Rombongan Kraton Surakarta segera mengadakan tahlilan Bagus Kuncung atau H Mataram. Kisah leluhur Mataram berguna untuk bahan refleksi bagi Paku Buwana II. Raja Mataram ini memiliki naluri kecerdasan yang tinggi. 


Sepanjang gunung Kendheng atau Gunung Kandha, terdapat guru yang sakti mandraguna. Dalam sejarahnya Bagus Kuncung adalah keturunan Ki Penjawi, pendiri Kraton Mataram. Makam di Jabung Jatiroto, Kayen Pati. Kepala Desa Jatiroto hadir dan paring suguhan. Dari Kraton Surakarta telah rawuh GKR Galuh Kencono, pengageng Keputren dan GKR Retno Dumilah, pengageng Pasiten. Trah Mataram Surakarta Hadiningrat ini berbakti kepada para leluhur. 


Kaitannya dengan keraton Surakarta, Bagus Kuncung menjadi tim penulis Serat Centhini. Semasa Sinuwun Paku Buwana V, Ki Bagus Kuncung pernah dikirim ke Mekkah untuk beribadah dan memperdalam ilmu agama Islam. Serat Centhini sebagai tim ahli kerajaan, khusus dalam bidang agama. Setelah pulang ke Jawa bergelar menjadi Haji Mataram. Gelar ini langsung diberikan oleh Sunan Paku Buwana V. 


Makam Bagus Kuncung berada di tengah alam yang amat indah. Gleges atau kembang tebu tumbuh pating trucuk seperti jamur barat. Pohon aren besar berjajaran dengan pohon kepoh. Kompleks makam memancarkan kewibawaan. Tanggal 17 Maret 2018 atau Rojab 1439 menjadi ajang silturahmi historis dan kebudayaan.


Tiap kali melewati daerah Pati, lantas ingat tokoh-tokoh besar : Ki Penjawi, Ki Ageng Ngerang, Nyi Ageng Ngerang, Sunan Prawoto. Beliau tokoh Pati yang amat terhormat. Priyayi luhur itu menurunkan raja besar Mataram. Yakni Kanjeng Sultan Agung Hanyakra Kusuma. Dengan Ratu Batang lahir Sri Susuhunan Amangkurat Agung yang memerintah tahun 1645 - 1677. 


Latar wilayah Pati cocok buat renungan Paku Buwana II. Pegunungan Kendheng yang menjadi perbatasan Pati dan Grobogan menjadi kawasan penting dengan lika-liku segala permasalahan. Mulai penambangan kapur, isu pabrik semen, kayu jati ternyata memerlukan perhatian serius. Agar suasana ayem. Sebagaimana telah dicontohkan Syekh Jangkung dan Retno Jinoli. Lagu Becak Pati laras pelog pathet nem. 


Becak Pati mlakune alon prasaja. 


Sing nyetir sopan santun tata krama. 


Genjotane kathik manteb ora nggersula. 


Tumpakane ra  nyuwara enak dirasa. 


Becak Pati rina wengi datan kemba. 


Wira wiri golek penumpang ngupaya upa. 


Ora ninggal peraturan kang wus ana. 


Becak Pati nyata ra gawe kuciwa. 


Becak becak kula terke teng terminal. 


Terminale niku wonten sisih pundi mbak ayu. 


Kae ketok melok-melok terminale. 


Pancen Asri rerenggane kutha Pati. 


Becak becak kula numpak bola bali. 


Napa purun  kula bayar namung niki. 


Purun mawon angger kula boten rugi. 


Sopir becak wira wiri pados rejeki. 


Lagu Becak Pati ini mengajarkan tentang keteladanan seorang sopir becak yang bersikap ramah dan hati hati. Pada saat berada di jalan raya sopir becak berjalan dengan mentaati peraturan lalu lintas. Kepada penumpang sopir becak bertindak halus, ramah dan sopan. Saat berkunjung ke makam Retno Jinoli syekh Jangkung, Paku Buwana II mendapat kisah menarik. Terdapat butir butir kearifan lokal. 


Pada saat ini keadaan makin baik. Penumpang dan sopir becak Pati saling menghormati. Tampak sangat akrab. Kedua belah pihak merasa beruntung dan nyaman. Jiwa kerakyatan Sultan Agung persis dengan lagu Becak Pati. Syekh Jangkung diambil ipar. Dinikahkan dengan Retno Jinoli, putri sulung Sinuwun Prabu Hadi Hanyakrawati raja Mataram tahun 1602-1613.


Gunung Kendheng tempat semedi Sultan Agung. Tapa brata bersama Syekh Jangkung dan Retno Jinoli. Masyarakat Pati tiap hari ngalap berkah.

Keturunan Mataram hormat kepada Syekh Jangkung dan Retno Jinoli. Penasihat Kraton Mataram ini mengajarkan sikap utama prasaja.


Tahun 1717 Paku Buwana II diajak untuk mengunjungi petilasan di Pati. Misalnya makam Ki Ageng Penjawi, Ki Ageng Ngerang, Nyi Ageng Ngerang, Syekh Jangkung, Sunan Prawoto. Leluhur Mataram ini berjasa atas peradaban tanah Jawa. 


Pengalaman Paku Buwana II belajar kawruh praktek agama di Pati. Berguna untuk menetapkan keputusan dalam bidang spiritual. Terutama soal peradilan keagamaan.


Kasus Haji Mutamakin dari Kajen Pati tertulis dalam Serat Cebolek. Paku Buwana II menyuruh carik istana Kartasura untuk mencatat peristiwa historis. Sebagai sarana kaca benggala.


Sukolilo Pati tempat bersemi budaya Jawi. Penerus kejayaan Kraton Demak Pajang Mataram Kartasura Surakarta. Mugi sami basuki lestari.rl

Share:
Komentar

Berita Terkini