PENERAPAN PAHAM JAWA UNTUK MEMPERKOKOH TOLERANSI BERAGAMA DI INDONESIA

Share:
Ist



GARDA.ID | PENERAPAN PAHAM JAWA UNTUK MEMPERKOKOH TOLERANSI BERAGAMA DI INDONESIA


Purwadi, 

Fakultas Bahasa Seni dan Budaya, 

Universitas Negeri Yogyakarta. 


Abstrak


Artikel ini berusaha menjelaskan penerapan paham Jawa untuk memperkokoh toleransi beragama di negara Indonesia. Untuk memperlancar pembahasan digunakan metode analisis budaya dengan teori filsafat kebangsaan. Ajaran Jawa yang disusun oleh pujangga bertujuan untuk mencapai keselarasan dalam hidup berbangsa dan negara. Pada kenyataannya bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari beragam suku, agama, adat istiadat dan bahasa. Keberagaman itu merupakan kekayaan nasional. Hasil dari pembahasan secara etis kefilsafatan ini diharapkan muncul pengertian terhadap perbedaan. Masing masing warga negara memiliki sikap saling menghormati. Khusus dalam beragama terdapat pemeluk yang mempunyai toleransi. Antar penganut agama yang berbeda bisa hidup rukun damai. Kerja sama antar pemeluk agama yang berlainan merupakan tanggung jawab bersama. Nilai luhur ajaran Jawa berguna untuk membina nasionalisme. Oleh karena itu adat istiadat tradisional perlu dilestarikan demi menjaga keselarasan. Dengan nilai tradisi Indonesia makin aman tentram sejahtera lahir batin. 


Kata kunci : Jawa, toleransi, beragama


A. Pengantar


Ciptaan para pujangga Jawa bertujuan untuk membina budi pekerti luhur. Tulisan itu berwujud sastra piwulang atau ajaran dalam bentuk literasi. Pembinaan kesadaran warga negara dilakukan dengan adanya pengajaran yang membawa kebaikan. 


Mutu kehidupan yang dianyam oleh para cendekiawan tradisional berupa ajaran moral. Penyusunan pedoman pergaulan berdasarkan kebutuhan. Misalnya pemikiran tentang aspek kemanusiaan, kebangsaan dan keadilan. Paham Jawa itu sudah dihayati dalam kehidupan sehari hari. Penjelasan Solichin (2021) memberi deskripsi hubungan antara agama dengan seni budaya. Perlu penerapan yang tepat atas paham Jawa dalam interaksi budaya. 


Dalam rangka memperkokoh toleransi beragama paham Jawa itu tetap relevan. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki aneka rupa tradisi bahasa dan agama diperlukan sikap toleransi. Bersama dengan nilai luhur dari etnis lain, paham Jawa itu diharapkan memberi kontribusi positif. Nilai tradisional yang berasal dari kawasan Sabang sampai Merauke dapat memperkuat identitas nasional. 


B. Metode dan Teori


Analisis terhadap paham Jawa ini menggunakan metode penafsiran. Tafsir hermeneutika yang dilakukan oleh Syafrudin Edi Wibowo (2019) terkait dengan kajian kearifan lokal. Penggalian atas paham Jawa berasal dari sumber literasi dan folklor. Sumber literasi ditulis oleh para pujangga kraton. Karya itu tersimpan dengan baik di perpustakaan Radya Pustaka, Sana Pustaka, Sana Budaya dan Reksa Pustaka. 


Dengan menggunakan teori filsafat paham Jawa dikaji secara sistematis integral dan komprehensif. Literasi Jawa umumnya ditulis dalam bentuk tembang. Nilai kefilsafatan itu terkait dengan usaha untuk menemukan butir butir kebajikan. Sikap toleransi merupakan kebajikan Jawa dalam rangka untuk mewujudkan harmoni sosial. 


Toleransi beragama diterapkan dalam lintasan peradaban Jawa. Jaman Kerajaan Majapahit mengenal kakawin Sutasoma. Terdapat ungkapan Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna berbeda beda tetapi tetap satu. Semboyan karya Empu Tantular ini digunakan oleh pemerintah untuk memberi legitimasi lambang negara. 


C. Hasil Pembahasan. 


Paham Jawa yang terkait dengan usaha pembinaan toleransi beragama bisa dikaji dari apek sosiologis historis dan filosofis. Kearifan Jawa merupakan modal utama untuk melakukan pembangunan di segala bidang. Berhubungan dengan aspek kebangsaan perlu adanya kajian kearifan lokal. Keterangan Zahra (2018) mengambil kearifan lokal dalam tembang macapat. 


Masyarakat tradisional di kawasan nusantara kaya akan kebajikan. Nilai luhur itu diwariskan turun temurun. Antar generasi memberi pelajaran yang berarti. Pengalaman kolektif itu berlangsung dari waktu ke waktu. Kelancaran komunikasi tradisional memudahkan dalam proses pengajaran. 


Keberadaan kearifan lokal itu dibahas. Sumber data literasi dan foklor belimpah ruah. Sumbangan yang berharga buat pembinaan nasionalisme. Kesadaran etis filosofis kebangsaan berakar dari tradisi luhur nenek moyang. 


1. Persatuan dan Kesatuan. 


Kerajaan Majapahit tampil sebagai negara besar makmur dan berwibawa. Rakyat hidup tenang aman damai. Warga negara yang tinggal di desa kota dan gunung tercukupi sandang pangan papan. Semua hidup guyub rukun. 


Kebersamaan dijunjung tinggi. Pemerintah dan rakyat bersatu padu. Aparat bekerja profesional. Masing masing melaksanakan tugas sesuai dengan ketrampilan. Tugas pokok dan fungsi berjalan normal. 


Untuk menjaga harmoni sosial maka dibuat peraturan. Kebenaran dan keadilan dijunjung tinggi. Perlakuan berat sebelah sangat dihindari. Tiap warga negara mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kewibawaan aparat dipupuk dengan ketertiban. Analisis Kusuma (2022) menjelaskan arti penting faktor kesejarahan. 


Agama yang dipeluk oleh warga mendapat perlindungan hukum. Empu Tantular menyusun kakawin Sutasoma. Prabu Hayamwuruk terbantu dalam melaksanakan toleransi beragama. Falsafah luhur ini lestari. Dari jaman  ke jaman semboyan ini dirasa relevan dalam segala perubahan. Patih Gajah Mada selaku perdana menteri merasa mudah dalam bertugas. Maka muncul tekad besar yang disebut dengan sumpah palapa. 


Tekad kuat itu didukung oleh toleransi dalam negeri. Istilah tan hana darma mangrwa adalah bentuk ungkapan yang bermakna bahwa tiada kebenaran yang bercabang dua. Di sini rasa manunggal sangat diutamakan. Persatuan dan kesatuan negeri Majapahit dijunjung tinggi. Jiwa kebangsaan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Sumaryanto (2019) menjelaskan sukses masyarakat terkait dengan filsafat kepemimpinan. 


Persatuan dan kesatuan merupakan kondisi objektif untuk melaksanakan cita cita besar. Oleh karena itu perbedaan sangat dihormati. Prinsip keberagaman dianggap sebagai kekayaan budaya. Pelaku seni budaya mendapat tempat yang terhormat. Toleransi beragama menumbuhkan jiwa masyarakat suka berproduksi dan berkreasi. Sikap toleransi beragama ini berdampak langsung pada untuk mewujudkan aspek ketentraman dan kesejahteraan.


2. Akulturasi Budaya


Kebajikan paham Jawa terdapat dalam suri tauladan yang diberikan oleh Wali Sanga. Sunan Magribi, Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Murya, Sunan Kalijaga, Sunan Giri dan Sunan Kudus memberi contoh yang baik. Para ahli budaya dan agama adalah teladan kebajikan dalam bidang toleransi. Para Wali melakukan dakwah keagamaan dengan  menghormati tradisi kebudayaan. 


Kegiatan syiar agama bertumpu pada kearifan lokal. Kerajaan Demak Bintara jelas mendukung aktivitas akulturasi budaya. Sunan Bonang menyusun kitab yang berjudul suluk wujil. Karya Sunan Bonang ini berisi tentang ajaran syariat tarikat hakikat makrifat. Untuk ajaran empat itu sesungguhnya bersetara dengan konsep agama Hindu. Yakni kamar arta dharma muksa. Sunan Bonang memahami keyakinan masyarakat Jawa asli yang sudah berkembang. Ajaran toleransi Sunan Bonang ini merupakan teladan utama. Budi Susanto (2022) memberi contoh kearifan lokal dalam wayang purwa. Estetika pewayangan senantiasa mengajar keutamaan. 


Ajaran toleransi beragama dicontohkan oleh Sunan Kudus. Masyarakat Kudus hingga kini selalu makan lauk pauk daging kerbau. Jarang yang mau menyembelih sapi. Kebiasaan ini dahulu untuk menghormati pemeluk agama Hindu. Hewan sapi bagi pemeluk Hindu dianggap suci. Perasaan dan kepercayaan ini perlu  dihormati oleh pihak lain. Simuh (2019) menawarkan toleransi beragama melalui kajian mistik Islam kejawen. 


Keteladanan Sunan Kudus juga dapat disaksikan lewat bangunan menara. Dalam membangun menara Kudus bentuknya menyerupai pura Hindu. Kehadiran agama Islam tetap menghormati arsitektur agama Hindu. Bentuk akulturasi budaya ini sungguh merupakan prestasi cemerlang. Toleransi beragama lewat akulturasi budaya bisa menciptakan suasana guyub rukun damai. 


Dalam masyarakat Jawa sendiri kerap dijumpai upacara wilujengan. Tradisi kenduri ini menyertakan tumpeng robyong, tumpeng sewu, tumpeng golong dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan. Tata cara penyiaran atau ujub dengan menggunakan bahasa Jawa. Sedangkan doa sakral menggunakan bahasa Arab. Ada pepatah Arab digarap, Jawa dibawa. Tercipta sebuah harmoni sosial yang hakiki. Tradisi wilujengan merupakan bentuk ritual masyarakat yang menggunakan instrumen akulturasi budaya. Sumaryadi (2018) mengulas sikap toleransi dalam teater tradisional. Misalnya dalam tradisi seni ketoprak. 


Bentuk akulturasi budaya terdapat dalam upacara pernikahan. Mulai dari lamaran, pasang tarub, menggunakan bleketepe, tuwuhan, janur, tebu, malam midodareni, siraman, panggih selalu memuat ajaran simbolik. Tradisi masyarakat Jawa sudah barang tentu memadukan antara religi dan tradisi. Religi bersumber dari ajaran agama. Tradisi bersumber dari adat istiadat masyarakat. Paham Jawa yang diterapkan senantiasa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.


3. Sikap Rendah Hati. 


Dalam babad tanah Jawi disebutkan kisah Jaka Tingkir yang rajin menuntut ilmu. Ki Ageng Banyubiru sebagai seorang guru ternama memberi wejangan. Jaka Tingkir memperhatikan dengan sepenuh hati. Bekal untuk mengabdi pada neger Demak Bintara. Kusuma (2022) menyadarkan arti penting sejarah peradaban. 


Wejangan Ki Ageng Banyubiru disampaikan dalam tembang mijil. Orang Jawa pada umumnya mempelajari, menghayati dan mengamalkan dalam praktek kehidupan. Keselamatan diyakini mudah didapat dengan perilaku yang baik. Tembang mijil ini sungguh memberi ajaran etika kefilsafatan yang penuh arti. 


Alenia pertama dengan ungkapan dedalane guna lawan sekti. Arti dari ungkapan ini yaitu jalan pokok untuk menuju kepandaian dan kesaktian. Pandai berhubungan dengan olah pikir. Otak yang cerdas diperoleh dengan belajar yang tekun. Sakti di sini bermakna bebas dari mara bahaya. Orang sakti berarti jauh dari segala halangan. Pintar dan sakti sangat didambakan oleh tiap orang. Jalan untuk mendapat pintar dan sakti perlu diketahui dengan benar.


Rendah hati bagi masyarakat Jawa merupakan sikap terpuji. Disebutkan ungkapan kudu andhap asor yang berarti harus mau bertindak merendah serandah rendahnya. Andhap bermakna bawah. Memang menjadi bawahan itu tidak enak. Tapi tetap dianjurkan untuk berlaku sebagai orang bawah. Kata asor berarti takluk. Mau takluk dianggap lebih menguntungkan. Beragama pun perlu sikap andhap asor. Toleransi dengan rendah hati lebih diterima dalam pergaulan. Dengan sikap andhap asor orang akan merasa lebih nyaman. Simuh (2019) menjelaskan nilai luhur dalam paham mistik kejawen. 


Ungkapan wani ngalah luhur wekasane, berarti berani untuk mengalah akan berderajat tinggi. Mengalah berbeda dengan kalah. Pada akhirnya orang mendapat keunggulan. Dilanjutkan dengan ungkapan tumungkula yen dipun dukani, yang berarti merunduk bila sedang kena marah. Kepala merunduk membuat orang lain segan. Orang marah pun segera reda. Pihak yang marah cepat sadar diri. Analisis yang dilakukan oleh Sri Harti Widyastuti (2023) mengulas keberadaan Sunan Paku Buwana IX dalam konstelasi sejarah sastra Jawa. 


Lantas ada ungkapan bapang den simpangi, berarti penghalang sebaiknya disingkiri. Wacana yang bikin kecewa perlu dihindari. Masalah tidak makin keruh. Suasana akan tenang kembali. Terus ada idiom ana catur mungkur, yang bermakna perdebatan kosong segera ditinggalkan. Diskusi yang kurang berisi harus disingkiri. Rasa tersinggung dapat dicegah. Kebijaksanaan Jawa sangat bermanfaat bila diterapkan. Toleransi beragama dibangun dengan sikap rendah hati. Perbedaan dihadapi dengan penuh kesabaran. 


4. Mawas Diri. 


Bagi orang Jawa mawas diri atau introspeksi berguna dalam pergaulan. Bangun kepribadian orang bersumber dari refleksi pemikiran. Ajaran etis filosofis berhubungan dengan sistem pembelajaran. Wulang wuruk disebarkan untuk menambah lebarnya wawasan. Nugraheni (2018) mengungkap pembinaan moral siswa lewat seni. Toleransi melalui seni terasa lebih mengakar kuat dalam masyarakat. 


Terkait dengan toleransi beragama, orang Jawa punya konsep rumangsa melu handarbeni. Artinya perasaan yang ikut memiliki. Orang lain dianggap keluarga sendiri. Jika mendapat kesulitan dirinya juga merasakan susah. Senang dan susah ditanggung bersama. Orang lain dan dirinya sudah menyatu. 


Lantas terdapat idiom rumangsa wajib hangrungkebi. Artinya sikap yang didorong oleh perasaan agar harus turut menjaga. Perasaan memiliki begitu mendalam, maka tumbuh rasa untuk melestarikan. Ada ancaman dicegah. Ada gangguan dihindari. Ada cobaan dibuat ringan. Ada masalah segera diselesaikan. Kehendak untuk terus menjaga dari segala kerusakan. Biar suasana tetap aman terkendali. 


Ajaran untuk terus mulat sarira hangrasa wani. Artinya kemauan untuk terus introspeksi dan berani mawas diri. Keberanian untuk bertanggung jawab selayaknya ditanam dalam sanubari. Watak ini jelas baik untuk ditiru. Introspeksi pada diri sendiri membuat langkah makin hati hati. Orang bersedia terus berbaik sangka pada sesama. 


Empati dan simpati pada orang lain. Persahabatan sejati karena adanya rasa senasib sepenanggungan. Empati turut merasakan kesulitan orang lain. Simpati usaha untuk membuat orang lain tertarik. Mawas diri dalam keberagaman yakni kesediaan untuk menerima semua perbedaan. 


Kemuliaan dalam tenggang rasa terjadi saat kepentingan berbeda. Toleransi makin mantab bila orang mau terlibat secara utuh atas nasib orang lain. Sikap toleransi dengan mawas diri membuat orang mau memaafkan kesalahan pihak lain. Hatinya terbuka buat kepentingan yang lebih luas. Keterbukaan menjadi ciri utama orang yang bersikap mawas diri. Masyarakat ikut merasakan suasana toleransi keagamaan.


5. Gotong Royong. 


Praktek toleransi beragama terbukti dengan adanya kerja sama. Orang Jawa menyebut kerja sama dengan istilah gugur gunung, gotong royong, kerja bakti, sambatan. Ungkapan lila lan legawa kanggo mulyaning negara. Artinya sikap rela hati supaya negara bertambah mulia. 


Sosialisasi nilai toleransi beragama dalam masyarakat Jawa lewat lantunan tembang. Dalam gending srepeg nem terdapat pitutur luhur. Berguna untuk memberi kesadaran tentang arti penting kebiasaan gotong royong. Nilai etis filosofis dengan balutan unsur estetis. Keutamaan disajikan dalam bentuk karya seni. Anjuran Nugraheni (2018) terkait dengan pembinaan moral generasi muda. Kesenian cocok untuk menanamkan jiwa toleransi. 


Saran kebajikan itu berbunyi merdu. Gotong royong dha tumandang gawe, berarti adanya gotong royong untuk bersama menyelesaikan kerja. Ambangun jiwa ambangun negara, berarti membangun jiwa raga untuk kejayaan negara. Nusa bangsa ing nusantara, berarti seluruh warga bangsa yang berada di seluruh kawasan nusantara. Kesadaran untuk membina nilai kebangsaan sungguh nyata.


Nasihat buat sekalian warga berbunyi lanang wadon sarta tuwa mudha. Artinya pria wanita juga tua muda. Cancut gya gumregut ngayahi kewajiban, berarti tekat semangat untuk melaksanakan kewajiban. Tugas masyarakat ditunaikan dengan penuh tanggung jawab. Kanggo nggayuh marang kautaman, berarti buat meraih terhadap segala cita cita utama. Daya upaya demi kesejahteraan rakyat. Partisipasi aktif diharapkan terus produktif dan kreatif. 


Tujuan gotong royong agar adil makmur kasembadan. Artinya masyarakat yang adil makmur segera tercapai. Keadaan ideal masyarakat terwujud berkat gotong royong. Nilai kebersamaan sangat diutamakan. Alangkah hebatnya bila gotong royong bersemi dalam jiwa tiap warga negara. Zahra (2018) dengan jelas menerangkan ungkapan moral dalam tembang. Toleransi beragama bisa melalui jalur kesenian. 


Wujud gotong royong antar pemeluk agama yang berbeda merupakan keindahan. Jalan menuju kebaikan dapat dicapai lewat toleransi. Budaya Jawa punya banyak pengalaman dalam menghadapi perbedaan. Mawas diri terlalu penting untuk diresapi. Masyarakat Jawa mengutamakan suasana yang selaras serasi dan seimbang. 


D. Kesimpulan


Masyarakat Jawa memiliki toleransi beragama yang besar. Perbedaan pemikiran dan aliran keyakinan ditanggapi dengan kesadaran. Dalam kehidupan mereka selalu mengutamakan persatuan dan kesatuan. Kepentingan negara lebih penting daripada kepentingan pribadipribadi dan golongan. 


Toleransi beragama memerlukan sikap andhap asor atau rendah hati. Orang menjadi empati simpati. Kerja sama mudah dilakukan. Semangat gotong royong sebagai wujud nilai kebangsaan. 


Watak mawas diri merupakan sikap untuk sadar terhadap aspek kepribadian. Introspeksi dalam praktek keragaman makin diterima oleh masyarakat. Akulturasi budaya cocok diterapkan dalam toleransi beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia. 


Daftar Pustaka


Kusuma. 2022. Historiografi Kaum Militer Indonesia, Arah Tantangan dan Prospek. Pasuruan: Ciptakan Pustaka Utama. 


Nugraheni, W. 2018. Penanaman Moral melalui Kesenian Reyog Kendang terhadap Pelajar di Kabupaten Tulungagung. Imaji 18 (2) pp 162 - 171


Simuh. Mistik Islam Kejawen Ranggawarsita. Jakarta: Gramedia. 


Solichin. 2021. Nafas Islam dalam Wayang. Jakarta: Yayasan Sinergi Persadatama. 


Sumaryadi. 2018. Nilai Estetika dalam Lakon Ketoprak. Yogyakarta: New Transmedia. 


Sumaryanto. 2019. Filsafat Kepemimpinan Olahraga. Yogyakarta. UNY Press. 


Susanto, Budi. 2022. Balungan Lampahan Wayang Purwa. Yogyakarta: Interlude. 


Wibowo, Syafrudin Edi. 2019. Hermeneutika Kontroversi Kaum Intelektual Indonesia. Jember : Istana Publishing. 


Widyastuti, Sr Harti dkk. 2023. Sunan Paku Buwana IX dalam Konstelasi Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta: UNY Press. 


Zahra. 2018. Macapat Tembang Jawa, Indah dan Kaya Makna Digital. Jakarta: Etnika Publisher.


Riwayat Hidup. 

Purwadi lahir di Grogol Mojorembun Rejoso Nganjuk. Pendidikan sarjana , master dan doktor di UGM. Menjadi staf pengajar di departemen bahasa daerah, FBSB UNY. Menjabat sebagai ketua Lokantara. Mengelola sanggar seni pustaka laras Yogyakarta.rel

Share:
Komentar

Berita Terkini