Ist |
GARDA.ID | SEJARAH AJISAKA MENGAJARI AKSARA JAWA
Oleh: Dr. Purwadi, M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, Hp: 0878 6440 4347
A. Kedatangan Prabu Aji Saka Di Jawa
Aksara Jawa diajarkan oleh Prabu Ajisaka. Sejarah ini didasarkan pada Serat Mahaparwa, karangan Empu Satya di Mamenang, Kediri, pada tahun 851 Surya (S) atau 879 Candra (C). Pada waktu ini tanah Arab di Timur Tengah sedang mengalami jaman Nabi Isa. Waktu itu Pulau Jawa belum bernama Jawa dan masih menjadi satu dengan Pulau Sumatra, Madura dan Bali. Sunyi sepi belum ada manusia.
Maka para dewa yang berkahyangan di puncak Gunung Tengguru tanah Hindi, yang nantinya disebut Gunung Himalaya, datang ke Pulau Jawa. Pimpinan para dewa adalah Sanghyang Manikmaya, atau Sanghyang Guru. Ia menjadi raja mengepalai para dewa. Maka pulau tadi dinamakan Pulau Jawa oleh Sanghyang Manikmaya, berasal dari kata dawa. Akan tetapi pada waktu itu yang menyebut demikian hanya para dewa. Setelah para dewa di Pulau Jawa lamanya 15 tahun, lalu semua muksa kembali ke kahyangan di puncak Gunung Tengguru tanah Hindi. Pulau Jawa kembali sepi seperti sedia kala.
Tersebutlah, di tanah Hindustan ada seorang raja brahmana, bernama Prabu Isaka atau yang disebut Prabu Aji Saka. Prabu Isaka tadi adalah putra Prabu Iwasaka atau Batara Anggajali. Batara Anggajali adalah anak Batara Ramayadi atau yang bernama Ramadi. Empu Ramadi adalah putra Sanghyang Ramaprawa. Sanghyang Ramaprawa anak Sanghyang Hening saudara Sanghyang Tunggal. Ia bertahta lamanya 46 tahun, negerinya dihancurkan oleh musuh. Prabu Isaka turun tahta dan mengungsi ke hutan. Di hutan ditemui oleh ayahandanya yang telah menjadi dewa yang bernama Batara Anggajali tadi.
Prabu Isaka diajari berbagai laku oleh ayahnya sehingga ia mendapatkan banyak kesaktian sebagaimana para dewa. Setelah itu ia diperintahkan untuk bertapa di sebuah pulau yang panjang (dawa) yang sepi dan telah diberi nama oleh Sanghyang Guru yakni Pulau Jawa. Prabu Isaka kamudian bergegas mencarinya. Setelah cukup lama, ia menemukan pulau yang masih sunyi, kira-kira di sebelah tenggara tanah Hindustan. Ketika pertama kali Prabu Isaka menginjak di pesisir utara pulau Jawa, menurut hari Hindu menjelang hari Buda, menjelang masa kartika, dalam tahun sambrama. Jaman pancamakala mencapai 768 tahun. Prabu Isaka lalu mengelilingi seluruh pulau dari ujung barat laut hingga ujung tenggara.
Prabu Isaka sangat terkagum-kagum mengetahui panjangnya pulau, karena dari Aceh sampai Bali masih utuh menjadi satu. Serta dalam pulau tersebut banyak tanaman jawawut sepanjang pulau. Menurut pemikiran Prabu Isaka, cocok dengan pemberian nama oleh Sanghyang Guru seperti yang diceritakan ayahandanya. Maka Prabu Isaka juga memberi nama Pulau Jawa, artinya pulau jawawut, atau pulau panjang. Inilah permulaan pulau ini bernama Pulau Jawa. Serta banyaknya gunung, sungai dan hutan-hutan yang dilalui diberi nama semua oleh Prabu Isaka. Tanah yang diinjak pertama kala diberi nama Purwapada.
Diceritakan, perjalanan Prabu Isaka mengelilingi Pulau Jawa mendapat kemudahan dari Hyang Suksma. Ia hanya membutuhkan waktu 103 hari, sudah merata semua. Prabu Isaka lalu bertempat di Gunung Hyang, yakni Gunung Kendeng di daerah Prabalingga dan Besuki. Hutan-hutannya dibabat dan didirikan rumah. Permulaan pembabatan ketika hari soma tanggal 14, pada masa sitra, masih dalam tahun sambrama.
Pada waktu itu, Prabu Isaka bernama Empu Sangkala, serta berkehendak menghitung angka tahun lamanya bertapa. Karena pembabatan hutan Gunung Hyang dijadikan sebagai angka permulaan tahun, maka dinamakan tahun Sangkala. Yakni pada masa kartika dalam tahun sambrama dalam hitungan tahun matahari atau rembulan. Adapun bunyi sengkalannya sama dengan tahun kepala satu, Jebug Sawuk, menandai tahun 1, yakni permulaan adanya tahun Jawa yang dipakai sebagai pedoman di kemudian hari, serta awal mula Pulau Jawa ditempati manusia.
Kedatangan Prabu Ajisaka di tanah Jawa membawa ketrampilan bagi masyarakat untuk dapat membaca dan menulis. Masyarakat Jawa trampil membaca aksara hanacaraka, datasawala, padhajayanya, magabathanga.
Aksara Jawa tercantum dalam suatu prasasti di celah Pegunungan Lawu Jawa Timur. Aksara Jawa tersebut merupakan aksara Jawa kuna permulaan bertahun 911 sebelum masehi. Prasasti tersebut pada jaman kerajaan Majapahit sewaktu Prabu Brawijaya II bertahta. Bacaan serangkaian kalimat bunyi aksara suku kata sarimbag urutan 5 huruf permulaan dari 20 aksara pada baris pertama berbunyi ha na ca ra ka artinya ada duta.
Tersebutlah, ketika Empu Sangkala sudah menetap di Gunung Hyang, ia senantiasa memuja dan semedi setiap hari mengheningkan cipta, menghayati kehendak Yang Maha Kuasa.
Pada suatu hari Empu Sangkala kedatangan cahaya putih. Dalam cahaya kelihatan putri cantik rupawan mengaku bernama Dewi Sri, serta memberi ajaran segala rupa pengasihan ulah asmaragama, asmaranala, asmaratura, asmaraturida dan asmarandana. Empu Sangkala paham dan Batari Sri lalu muksa. Hari itu Empu Sangkala memberi nama hari Sri.
Kemudian hari berikutnya, Empu Sangkala kedatangan cahaya kuning. Yang berada dalam cahaya kuning kelihatan raksasa mengaku bernama Sanghyang Kala. Ia mengajarkan berbagai rupa ulah sandi upaya panduking karti sampeka, dan menggunakan pangedepan, panglerepan serta segala sesuatunya. Empu Sangkala paham lalu Sanghyang Kala muksa. Pada hari itu Empu Sangkala menamainya hari Kala.
Kemudian hari berikutnya, Empu Sangkala kedatangan cahaya merah. Yang berada dalam cahaya merah kelihatan brahmana mengaku bernama Sanghyang Brahma. Ia mengajarkan segala rupa pengetahuan mengatahui sebelum terjadi, waspada kepada yang ghaib atau yang samar. Empu Sangkala paham lalu Sanghyang Brahma muksa. Pada hari itu Empu Sangkala menamainya hari Brahma.
Kemudian hari berikutnya, Empu Sangkala kedatangan cahaya hitam. Yang berada dalam cahaya hitam kelihatan seorang lelaki satria mengaku bernama Sanghyang Wisnu. Ia mengajarkan segala rupa ulah keperwiraan, kesaktian, dan segala ilmu jaya kawijayan. Empu Sangkala sudah paham lalu Sanghyang Wisnu muksa. Hari itu Empu Sangkala menamainya hari Wisnu.
Kemudian hari berikutnya, Empu Sangkala kedatangan cahaya hijau berwarna-warni. Yang berada dalam cahaya kelihatan seperti mengawasi, bernama Sanghyang Guru. Ia mengajarkan berbagai rupa ulah kepandaian memanah, atau ilmu kesempurnaan dan penitisan mati dalam hidup, dan kemuliaan asal mula semua. Empu Sangkala sudah paham lalu Sanghyang Guru muksa. Hari itu oleh Empu Sangkala dinamainya hari Guru.
Pada hari berikutnya, Empu Sangkala melakukan sembah lima kali. Dalam satu hari satu kali. Mulai hari Sri, Empu Sangkala menyembah kepada Dewi Sri, menghadap ke timur. Pada hari Kala menyembah kepada Sanghyang Kala, menghadap ke selatan. Pada hari Brahma menyembah Sanghyang Brahma, menghadap ke barat. Pada hari Wisnu menyembah Sanghyang Wisnu, menghadap ke utara. Pada hari Guru, menyembah kepada Sanghyang Guru, menunduk ke bumi dan mendongak ke angkasa. Demikian selamanya.
Tersebutlah, Baginda Raja Rum di Turki yang bernama Sultan Galbah, kerajaannya terletak di Tanah Brusah sebelah utara tanah Arab, termasuk daerah kekuasaan Turki Asiyah. Pada waktu itu Kanjeng Sultan berniat mengisi orang pada beberapa pulau yang masih sunyi. Ia mendengar kabar bahwa di Pulau Jawa masih sunyi. Kanjeng Sultan lalu mengutus untuk mengisi orang sejumlah 20.000 keluarga, lengkap dengan segala perlengkapan, dinaikkan ke perahu dan segera diberangkatkan ke Pulau Jawa.
Mereka menuju Gunung Kanda atau yang di kemudian hari disebut Gunung Kendeng yakni daerah Surakarta hampir mendekati Surabaya. Setelah sampai di sana lalu segera membabat hutan di sepanjang Gunung Kanda. Kedatangan orang-orang Rum di tanah Jawa, bertepatan dengan Rum menjelang masa nisan, tahun Rum 437.
Jika dihitung sejak Nabi Adam menjadi Kalifatullah sampai Pulau Jawa terisi manusia dari Rum yang pertama kali, terhitung dalam tahun 5154 S atau dalam tahun 5306 C. Di Jawa bersamaan dengan masa wisaka, masih dalam tahun sambrama. Dalam hitungan tahun Hindu sejak Jaman pancakala mencapai 768 tahun. Adapun sengkalannya baik dalam tahun matahari maupun tahun rembulan adalah Kunir Awuk Tanpa Jalu (001 atau 1), menandai angka tahun 1.
Suatu ketika Pulau Jawa terserang mala petaka penyakit. Semua orang yang jumlahnya 20.000 keluarga tadi menderita sakit, karena tidak tahan panas, atau kerasukan setan, dimangsa binatang buas sehingga meninggal dunia, hingga kira-kira tinggal 2.000 keluarga. Hal itu terjadi sejak masa sitra dalam tahun biswawisu. Masih terhitung dua tahun, baik tahun matahari atau rembulan dengan sengkalan, Kacaksuhing Siluman, menandai angka tahun 2.
Ketika Pulau Jawa sedang menderitakan malapetaka berikutnya, orang yang 2.000 keluarga tadi kira-kira tinggal 200 keluarga, lalu mengumpul menjadi satu di sebuah padang yang disebut Tegal Purama. Pada masa palguna dalam tahun kalayudi, dengan sengkalan Geni Tiba Maletik ing Langit, menandai angka tahun 3. Diriwayatkan orang 200 keluarga tadi tumpas lagi hingga tinggal 20 keluarga. Di situ orang 20 keluarga mengarungi lautan kembali ke Rum, memberitahukan kepada Kanjeng Sultan. Pada waktu itu masa naya, dalam tahun kalakanda. Sengkalannya Toya Muluk ing Gagana, menandai angka tahun 4.
B. Kesadaran Literasi Masyarakat Jawa
Peradaban Jawa dilestarikan lewat dokumentasi tertulis. Maka terbitlah berbagai macam kitab babad yang menceritakan asal-usul dan perkembangan kerajaan Jawa. Peristiwa penting diabadikan kitab babad dengan menggunakan aksara Jawa. Misalnya Babad Banyumas, Babad Kediri, Babad Tuban, Babad Majapahit, Babad Kartasura.
Kanjeng Sultan Rum sangat sedih mendengar laporan patih tentang tumpasnya orang-orang yang dikirimkan ke Pulau Jawa itu. Ia lalu mengutus raja pendeta dari Bani Israel bernama Usman Aji. Pendeta sakti bijak bestari ini diperintahkan untuk memberi tumbal Pulau Jawa yang sunyi dengan membawa jimat dari para pertapa dan orang-orang sakti. Keberangkatan Usman Aji naik perahu dengan diiringkan para pendeta dan pertapa.
Setibanya di pulau yang sunyi atau Pulau Jawa, lalu menjelajahi hutan-hutan dan gunung-gunung, mencari tempat yang untuk menaruh tumbal. Kala itu tanah Rum sedang masa tasriniki. Di Jawa sedang masa manggasri, dalam tahun rautri. Bunyi sengkalannya Tata Sunya Tanpa Barakan, menandai angka tahun 5. Karena kepandaiannya, Usman Aji tahu bahwa di Gunung Hyang dalam pulau yang sunyi, ada orang yang sedang bertapa, yakni Empu Sangkala. Setelah bertemu muka, lalu ditanyai.
Empu Sangkala menceritakan semua kejadiannya sejak awal, tengah hingga akhir kesudahannya. Raja pendeta sangat haru. Empu Sangkala hendak diajari lagi agar tambah kesaktiannya. Empu Sangkala menurut dan mengiring perjalanan pendeta itu. Waktu itu Rum bertepatan dengan nisan. Di Jawa bertepatan dengan masa wisaka dalam tahun dumdumi. Sengkalannya Anggas Pejah ing Awang-awang, menandai angka tahun 6.
Usman Haji memasang tumbal di Pulau Jawa di empat arah dan kelima di titik tengah. Pemasangan tumbal di lima tempat tadi disaksikan oleh para pertapa dan pendeta utusan tersebut. Keesokan harinya, terdengar suara petir halilintar menggelegar dari arah timur, selatan, barat, utara dan tengah tanpa henti-hentinya dari siang sampai malam.
Keesokan harinya lagi terjadi getaran di tempat-tempat angker, gempa bumi gonjang-ganjing, laut meluap-luap, gunung-gunung besar runtuh. Hal ini karena kesaktian tumbal mengenai sekalian makhluk-makhluk jahat. Sampai keesokan harinya lagi, terdengar tangis makhluk halus yang mengalami kesakitan luar biasa. Suaranya gemuruh, bergelugur bersama dengan gelegar petir halilintar guruh mengambar, angin sindung riwut pertanda terdesak kalahnya makhluk-makhluk halus besar kecil semuanya. Gemuruh suara makhluk halus terdengar mengungsi ke laut selatan.
Dalam 21 hari, duta dari Rum telah berkumpul di perahu, lalu kembali ke negeri Rum. Empu Sangkala tidak ketinggalan. Ketika pemasangan tumbal di Pulau Jawa, Rum bertetapan dengan ayar, tahun Rum 444. Di Jawa sedang masa jita, dalam tahun triyodari. Sengkalannya Gora Sirna, menandai angka tahun 7.
Perjalanan raja pendeta dan para utusan tadi sesampai di Rum segera menghadap kepada Kanjeng Sultan dan melaporkan bahwa tugas telah dilaksanakan dan berhasil dengan baik. Demi mendengar berita itu, Kanjeng Sultan Rum sangat gembira hatinya. Usman Haji lalu pulang kembali ke Bani Israel. Empu Sangkala mengikutinya. Sesampai di Bani Israel, Empu Sangkala mendapat tambahan ilmu lagi. Ia menjadi lebih sakti dan dijuluki Pendeta Iksak. Sang Pendeta Usman Aji teramat sangat sukanya.
Tidak diceritakan lebih lanjut tentang bergurunya Empu Sangkala kepada Usman Aji, ia segera mendapat perintah dari Kanjeng Sultan Rum mencari orang yang sama-sama berasal dari tanah panas, diperintahkan supaya dibawa ke tanah Jawa. Empu Sangkala lalu segera berangkat sebagai utusan Rum ke tanah Hindustan dan sekitarnya dengan membawa perahu untuk membawa orang ke Pulau Jawa. Sesampai di Hindustan, Empu Sangkala segera menghadap kepada Sanghyang Jagatnata, kepala para dewa yang dituhankan orang-orang Hindu.
Empu Sangkala memohon orang 2.000 keluarga dan segera dikabulkan. Empu Sangkala menerima bangsa Keling sejumlah 1.500 keluarga, lengkap dengan seluruh peralatan rumah tangga, hewan ternak, dan seluruh kekayaan. Semuanya dimasukkan ke dalam 40 buah perahu. Empu Sangkala mengajak tiga adiknya, (1) Empu Bratandang, (2) Empu Braruni, dan (3) Empu Braradya. Lalu segera berangkat dengan mampir di Pulau Kandi, sebelah selatan tanah Hindustan, yakni tanah negeri Alengka, kerajaan Prabu Dasamuka.
Akan tetapi waktu itu Prabu Dasamuka belum ada. Nantinya orang Arab menyebutnya Pulau Sailan. Orang Eropa menyebut Pulau Seilon. Di situ Empu Sangkala mendapat 2.000 keluarga. Dari Sailan mampir di Siam, daerah Hindia Belakang dan mendapat 2.000 keluarga lengkap dengan peralatannya. Jumlah semua 20.000 keluarga.
Perjalanan perahu dari Siam mencapai Pulau Jawa masih mengkawatirkan karena kesaktian tumbal yang sebelumnya telah dipasang. Oleh karena itu dituju dulu Pulau Kencana, atau Pulau Baruni, yang nantinya disebut Borneo (Kalimantan). Di situ dimusyawarahkan dan disepakati orang-orang dibagi dalam beberapa kelompok sambil melengkapi peralatannya. Kedatangan mereka di Pulau Kencana bertepatan dengan masa asuji, dalam tahun tisimuka. Hitungan tahun atau baru 8 tahun. Sengkalannya berbunyi Naga Murca, menandai angka tahun 8.
Diceritakan, orang 20.000 keluarga istirahatnya di Nusa Kencana selama sepuluh hari, bertepatan dengan masa srawana, lalu diberangkatkan ke Nusa Jawa naik perahu. 20 Perahu yang berisi 10.000 keluarga mampir di Pulau Baweyan, tepatnya sebelah utara Pulau Madura. Sedangkan 20 perahu lagi mampir di Pulau Pawiniyan yang nantinya disebut Pulau Karimun Jawa, sebelah utara Jepara. Akan tetapi di Pulau Baweyan dan Pulau Pawiniyan banyak yang meninggal karena penyakit dan dimangsa binatang buas.
Orang-orang di Pulau Baweyan tinggal 8.997 keluarga, lebih dari 105 orang menjadi duda atau janda karena suami atau istrinya meninggal, selain anak-anak. Orang yang tinggal di Pulau Pawiniyan tinggal 2.176 keluarga. Lebih dari 87 orang menjadi duda atau janda, selain anak-anak. Pada waktu itu orang-orang yang di Pulau Pawiniyan mengumpul menjadi satu di Pulau Baweyan.
Terhitung 20.00 keluarga tinggal 11.173 keluarga. Duda dan janda sejumlah 192 dan selain itu anak-anak. Karena itu kemudian Empu Sangkala mengirim utusan untuk mencari orang ke Nusa Kencana atau Pulau Borneo dan Nusa Makasar, yang nantinya disebut atau Selebes atau Sulawesi. Waktu dibukanya Pulau Baweyan, bertepatan dengan masa padrawana dalam tahun dinakara, dengan sengkalan Celeng Mati, menandai angka tahun 9.
Diceritakan tatkala datangnya orang-orang dari Nusa Kencana, banyaknya 6.505 keluarga, lengkap dengan perlengkapannya. Lalu datang ornag-orang dari Makasar, jumlahnya 2.324 keluarga, lengkap dengan pirantinya. Kedatangannya melalui Pulai Baweyan. Waktu itu bertepatan dengan masa manggasri dalam tahun sujarha. Terhitung keberangkatan utusan hingga kedatangannya kurang lebih empat tahun.
Adalah orang-orang dari Makasar dan Nusa Kencana dan yang ada di Pulau Baweyan berjumlah 20.003 keluarga, kecuali anak dan duda janda. Kemudian dibagi dalam empat kelompok untuk diberangkatkan ke timur, barat, dan tengah. Adik-adik Empu Sangkala menjadi pimpinan rombongan. Setelah siap lalu segera diberangkatkan. Dua bagian ke barat, satu bagian ke timur dan satu bagian ke selatan untuk menuju tengah.
Singkat cerita yang berangkat ke barat mampir di Pulau Pawiniyan, lalu membuka hutan. Permulaan pembabatan bertepatan dengan masa sitra masih dalam tahun sujarha. Tidak lama lalu segera berangkat meninggalkan Pulau Pawiniyan menuju Pulau Jawa. Sebagian besar yang banyak orang Siam dan orang Nusa Kencana menuju Gunung Rajabasa, di Pulau Sumatra sekarang. Sebagian menuju ke Gunung Kanda, atau Gunung Kendeng di Rembang. Yang ke selatan menuju Gunungkidul daerah Yogyakarta.
Sebagian yang ke timur banyak orang Makasarnya, menuju Nusa Barong daerah Prabalingga. Kedatanganya di lokasi masih dalam masa sitra pada tahun sujarha. Di situ lalu dibagi-bagi per seribu keluarga seperalatannya, harta kekayaan, hewan piaraan, pekerjaan lalu berpencar ke barat, timur dan ada yang di tengah, masing-masing telah ditempatkan. Lalu mereka membuka hutan dan pegunungan dan membuka perkampungan.
Ada yang segera menanam padi, jujutan, dan lain-lain. Biji dibawa dari daerah asalnya masing-masing. Orang-orang Keling suka menanam genitri dan kekeling. Kekeling adalah biji siwalan yang sudah tua. Saat pembukaan hutan dan penanaman itu bertepatan dengan masa srawana masih dalam tahun sujarha. Tahun atau rem 10, dengan sengkalan Sirna Rupaning Duwur, menandai angka tahun 10.
Diceritakan, pada jaman Empu Sangkala memilih undagi yang pandai–pandai, mendapat sepuluh nama : (1) Empu Jangga, (2) Wisaka, (3) Kutastaka, (4) Malipata, (5) Wishwadana, (6) Kurmanda, (7) Kusalya, (8) Anuwilipa, (9) Sukskadi, (10) Sarada. Mereka bersepuluh diajar perlambang jaman satu persatu, hitungan tahun Sangkala, lalu disuruh mengajar sekaligus menyebarkan kepada semua orang. Setelah itu sepuluh orang tadi dibagi-bagi penempatannya masing-masing dan dijadikan abdi istana.
Empu Sangkala dan para utusan dari Rum lalu berlayar pulang menuju ke Rum. Adiknya bertiga disuruh pulang ke tanah Hindu, melaporkan kepada Sanghyang Guru akan keadaan yang sebenarnya. Pada waktu itu bertepatan dengan masa kartika, masih dalam yang sama dengan ketika Gunung Kanda atau Gunung Kendeng tanah Surakarta yang berbatasan dengan Rembang dan Surabaya dibabat lagi. Demikian juga Nusa Barong di Prabalingga dibabat lagi dalam masa sadamuka. Sengkalannya Pring Sadhapur, menandai angka tahun 11.
Diceritakan, sepeninggal Empu Sangkala, orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa aman lestari dalam membuka hutan-hutan dan gunung. Adapun halnya dengan gunung besar yang ditempati manusia pertama kali dijelaskan sebagai di bawah ini: Pembabatan Gunung Rajabasa di Sumatra dalam tahun atau 12 S. Pembabatan Gunung Bangsa dan Gunung Oya di Gunungkidul, daerah Yogyakarta dalam tahun atau 13 S. Pembabatan Gunung Merapi Sumatra dalam tahun atau 14 S. Pembabatan Gunung Wayang, Gunung Tampomas dan Gunung Papandayang di tanah Priyangan dalam tahun atau 15 S.
Pembabatan Gunung Indrigiri dan Gunung Maha Himawan dalam tahun atau 16 S. Pembabatan Gunung Indrapura di Pulau Sumatra dalam tahun 17 S. Pembabatan Gunung Sambawa dalam tahun atau 18 S. Pembabatan Gunung Mahameru yang nantinya disebut Gunung Semeru di perbatasan Pasuruan Purbalingga dalam tahun atau 19 S. Pembabatan Gunung Kelut tanah Kediri, dalam tahun atau 20 S.
Pembabatan Gunung Antariya dalam tahun atau 21 S. Pembabatan Gunung Nimma dalam tahun atau 22 S. Pembabatan Gunung Karang di Pulau Bali dalam tahun atau 23 S. Pembabatan Gunung Sigara, yang nantinya disebut Gunung Singgalang di Pulau Sumatra dalam tahun atau 24 S. Pembabatan Gunung Paramesan di Pulau Sumatra dalam tahun atau 25 S.Pembabatan Gunung Wanapanta dalam tahun atau 26 S. Pembabatan Gunung Manikmaya dan Gunung Sakula dalam tahun atau 27 S. Pembabatan Gunung Ayang tanah Besuki, dalam tahun atau 28 S.
Diceritakan ketika membuka Gunung Kamula, yang nantinya disebut Gunung Pangrango atau Gunung Gede, sebagai perbatasan tanah Priangan dan Bogor, juga bernama Buitenzorg, hanya selisih satu hari dengan kedatangan Empu Sangkala dari Rum. Empu Sangkala diutus untuk melihat keadaan orang-rang yang bertanam di tanah Jawa, dengan membawa orang-orang Rum, dan membawa gagramen sendiri-sendiri.
Yang mengutus adalah Kanjeng Sultan Oto, yakni putra Kanjeng Sultan Galbah yang dulu telah berkehendak mengisi Pulau Jawa. Setibanya di Tanah Jawa, Empu Sangkala berkeliling melihat-lihat orang-orang yang sedang membuka hutan dan gunung untuk pertanian, serta menanyakan kapan mulainya masing-masing membuka hutan. Setelah selesai pemeriksaan, lalu menyebarkan gagramen dari Rum itu kepada penduduk, yang kemudian dibeli oleh penduduk dengan berbagai macam emas, mustika dan sejenisnya.
Orang Rum yang membawa gagramen tadi, banyak yang kemudian ingin bertempat tinggal di Pulau Jawa. Oleh Empu Sangkala kemudian diizinkan dan dicarikan tempat, serta menunjuk Tamus, sebagai pemimpin orang-orang Rum. Waktu itu bertepatan dengan tahun wila 29 S dengan sengkalan Dewaning Panembah. Setelah tahun berkepala 30, Empu Sangkala kembali ke Negeri Rum.
C. Dewan Kapujanggan Kraton menggunakan Aksara Jawa
Asal-usul aksara Jawa memang diperkenalkan oleh Prabu Ajisaka. Para raja Jawa lantas mengembangkan sebagai alat dokumentasi tertulis. Maka dibentuklah dewan kapujanggan.
Kerajaan Kahuripan mempunyai dewan kapujanggan yang dipimpin oleh Empu Kanwa. Muncullah dokumentasi yang berupa Kakawin Arjunawiwaha. Dewan kapujanggan Majapahit dikelola oleh Empu Tantular dan Empu Panuluh. Pembentukan dewan kapujanggan Majapahit dilakukan oleh Prabu Hayamwuruk yang memerintah sejak tahun 1350.
Dewan kapujanggan kerajaan Pajang dipimpin oleh Pangeran Karanggayam. Beliau menciptakan dokumentasi tertulis dengan judul Serat Nitisruti. Kerajaan Pajang yang berdiri tahun 1546 memiliki konstitusi yang dipelopori oleh Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya.
Aksara Jawa berkembang pesat pada jaman karaton Surakarta sejak didirikan pada tahun 1745. Pujangga istana mengembangkan karya sastra yang bermutu tinggi. Misalnya Sinuwun Paku Buwana IV, Sri Mangkunegoro IV, Kyai Yasadipura dan Raden Ngabehi Ranggawarsita.
Makna filosofis aksara Jawa diterangkan oleh Sinuwun Paku Buwono IX yang memerintah tahun 1861 – 1893. Sinuwun Paku Buwana IX paring wursita aditama lumantar lambang aksara Jawi.
Kinanthi
Nora kurang wulang wuruk,
tumrape wong Tanah Jawi,
laku lakune ngagesang,
lamun gelem anggoleki,
tegese aksara Jawa,
iku guru kang sejati.
Tulis Jawa Sang Guru,
aksara kang mawi sandi,
sasampune trang trawaca,
maknane ingkang premati,
wajib dadya tulisira,
teges kudu angawaki.
Kanjeng Gusti punika remen marsudi kawruh sarta kagunan. Kawruh main selat maguru dhateng tiyang Arab nama Wa’isyah ingkang kaparengaken derek abdi dalem Mantri Kadipaten nama Ngabehi Pusporejo. Nalika Kanjeng Gusti sampun jumeneng Nata saha rampung yasa pasanggrahan Langenharjo, pinuju mentas gerah tedhak ing pasanggrahan wau. Wanci enjing miyos mlampah-mlampah sekaliyan Prameswari dalem urut lepen mriksani pakaranganing griyanipun Kyai Mochamad Ilham. Kondur dalem dhumateng pasanggrahan agem dalem canelo ingkang tengen kakipataken mangetan dumugi gisik sabrangan wetan.
Dhawuh dalem dhumateng Ngabehi Atmowinoto (R.T. Arumbinang) kekiyatan dalem samanten punika, rumiyin saking wulanganipun Wa’isyah, wasono agem dalem canelo wau ingkang kadawuhan nututi R. Ngabei Atmosasmito kaliyan R. Ngabei Atmotiyoso sami numpak baita dhateng wetan banawi.
Kanjeng Gusti ugi remen ngudi kawruh kasusastran, pamundhut dalem seserepan dhateng R.T. Yosodipura saha Ngabei Sastro Harjendro, pungkasanipun dhateng R. Ngabei Ranggawarsita. Warnining seratan tapak asta dalem wangun seratan carik ing Kadipaten. Kanjeng Gusti remen dhateng kawruh sepuh ingkang asring kapangandikakaken, mundut saserepan dhateng Ngabdul-kahar ing Ngruweng, tuwin Ahmad Ilham lajeng dados pradikan pamijen wonten Masjid Langenharjo, saha sanes-sanesipun.
Kanjeng Gusti sareng sampun jumeneng Nata kerep ngandikan kawruh kasarasan kaliyan para tuan dokter Panderrumer sarta M. Ngabei Jayasasmito, dokter Mangkunegaran, lajeng mundut pepetan tiyang bedelan perlu dipun nguningani badan ing lebet, tegesipun dhateng kawruh lahir batos inggih sumrambah.
Ajaran filsafat pagesangan Paku Buwana IX adhedhasar aksara Jawi punika kados mekaten: HA-NA-CA-RA-KA.
Ha-na-ca-ra-ka ateges ana utusan yaiku utusan urip, wujude napas sing kajibah manunggalake jiwa lan raganing manungsa. Maksute ana sing paring kapercayaan, ana sing dipercaya, lan ana sing dipercaya kanggo makarya. Telung perkara iku ananging Allah, manungsa lan jejibahane manungsa (minangka titah).
Da-ta-sa-wa-la ateges manungsa sawise cinipta nganti tekan saate tinimbalan, ora bisa nolak utawa endha apa dene semaya. Manungsa lan samubarange kudu ndherek sendika dhawuh, nampa sarta nindakake kersane Allah.
Pa-dha-ja-ya-nya ateges manunggale Dzat Kang Ngcet Lombok (Kholik) karo sing diparingi urip (makhluk). Karepe cocog nunggal batine sing bisa disawang ing sajrone solah bawane adhedhasar kaluhuran lan kautaman. Jaya iku menang, unggul sing sabener-benere, ora mung menang-menangan utawa menang ora sportip.
Ma-ga-ba-tha-nga ateges nampa sakabehing dhedhawuhan sarta larangane Allah Kang Maha Kuwasa (takwa). Maksude, manungsa kudu pasrah, sumarah marang garising diwajibke, senajanta manungsa diparingi wenang kanggo ngiradati, budidaya kanggo nanggulangi. Wusanane, kabeh mung ana panguwasane Allah.
Kanjeng Gusti nalika yuswa 20 tahun kagungan putra kakung saking priyantun R. Wrediningrum, kaparingan nama BRM Adamadi inggih Imamkambali paparab BRM Surati ing dewasanipun asma Kanjeng Pangeran Hangabei, lajeng santun nama Kanjeng Pangeran Harya Prabuwijoyo. Kanjeng Gusti pancen sampun kagungan dedasar mursid, kuwawi nahen hawa, saged anyingkiri pangencana. Dhumateng papa sangsara tinampenan ing panarima. Sakathahing panyeda tinampenan ing sabar kanthi tawekal. Kacuwaning karsa tinampen kalayan rila legawaning panggalih.
Sanadyan Kanjeng Gusti nyata putraning Nata ingkang miyos saking Prameswari. Ewodene sarehning kawontenanipun kados ingkang sampun kacariyosaken ing nginggil, dados ciptaning ngakathah. Kanjeng Gusti kininten boten saged jumeneng Nata, dening sapisan kaling-kalingan jumeneng dalem Ingkang Sinuwun kaping VII.
Kaping kalihipun sanadyan Sampeyan dalem Sinuwun kaping VII wau dereng kagungan putra kakung, sarehning kathah para Pangeran sepuh-sepuh kadosta: KPA Hangabei, KPA Kusumayuda, dados dereng temtu saged jumeneng Nata. Mila menggah ing sawangan pancen tebih ing pangajeng-ajeng sagedipun jumeneng Nata. rel
Nanging papastening Pangeran tetela boten kenging kininten-kinten dening manungsa sarta tetep manawi manungsa boten saged ngewahi tatananing Pangeran. Kalampahan saha kanyatahanipun Kanjeng Gusti saged jumeneng Nata, lulus tanpa sambekala. Nalika jumeneng nata, Sinuwun Paku Buwana IX ngutus Raden Ngabehi Ranggawarsita kinen nyerat Serat Cemporet, kanthi sengkalan Songsong Gora Candra utawi tahun Jawi 1799. Putra wayah dalem ingkang ngrumpaka Serat Yatno Hisworo nggampilaken katrangan bab Kraton Surakarta.