wartawan senior coking susilo sakeh.ist |
GARDA.ID | PEKAN lalu, viral aksi seorang lelaki bertelanjang dada mengadang mobil
patroli Satpol PP Pemko Medan yang sedang melakukan sosialisasi penertiban
pedagang di trotoar Jalan Gatot Subroto Medan. Lelaki itu kemudian dikenal bernama
Rakesh, seorang pedagang warkop kakilima di dekat Plaza Medan Fair.
Beragam kalimat protes terlontar dari mulut Rakesh. Khususnya, memprotes
kebijakan Pemko Medan yang dinilai ‘tebang pilih’ didalam menertibkan pedagang di
sepanjang trotoar Jalan Gatot Subroto tersebut. Namun, ada satu kalimat
menggairahkan yang diucapkan Rakesh : “Aku jijik sama Boby, kau bilang sama dia!”.
Siapakah Rakesh?
Sesungguhnya, ini adalah aksi protes ketiga yang dilakukan Rakesh selama
masa kepemimpinan Bobby Nasution sebagai Walikota Medan. Pertama, saat
warkopnya diperintah tutup oleh Satpol PP Medan karena sedang masa PPKM Covid
(Jum’at, 16/7/2021). Rakesh tak mau menutup warungnya, dengan alasan itulah
satu-satunya sumber mata pencahariannya untuk menghidupi keluarganya. Tak
tanggung-tanggung, aksi protes dilakukannya dengan menyiram air panas petugas
Satpol PP yang mendatangi tempat usahanya.
Aksi kedua, saat Satpol PP Medan melaksanakan razia masker di warungnya
(Jum’at, 28/1/2022). Rakesh memprotes Razia tersebut dan tak mau
mempergunakan masker, karena dia merasa sehat-sehat saja dan warga di
sekitarnya tidak ada yang meninggal karena tidak memakai masker. Dan aksi ketiga
Rakesh, ya, itu tadi, mengadang mobil Satpol PP Pemko Medan.
Lelaki berusia sekitar 46 tahun itu, lahir dan besar di Medan, tepatnya di Jalan
Waru Kelurahan Sekip Medan Petisah, persis di belakang Gedung Putih Jln Sekip
Medan. Beristerikan wanita dari etnis Jawa, Rakesh dikaruniai satu orang anak. Untuk
membiayai keluarganya, Rakesh membuka warung kopi di Jalan Gatot Subroto, tidak
jauh dari Plaza Medan Fair. Sudah puluhan tahun dia mengelola warkop di pinggir jalan tersebut.
Hai, sosok Rakesh adalah profil warga K-5 (baca : Rakyat Kecil) Kota Medan.
Dan karenanya, aksi protes Rakesh, adalah simbol perlawanan warga K-5 (baca :
rakyat kecil) Kota Medan terhadap kebijakan Pemko Medan
Mangkanya…
Kolaborasi Sor Sendiri
Sebagaimana dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia, maka Kota Medan
pun tak hanya dihuni oleh kalangan menengah atas saja. Tapi juga dihuni oleh rakyat
K-5, rakyat kecil yang tidak punya pekerjaan dan penghasilan tetap.
Aku tak punya angka pasti, berapa persen rakyat kecil warga Kota Medan dari
sekitar 2,5 juta jiwa jumlah penduduk Kota Medan. Namun, jumlah rakyat kecil Kota
Medan, pasti jauh lebih besar dibanding jumlah kelas menengah dan atas.
Kebanyakan mereka menetap di pemukiman di belakang jajaran gedung-gedung
bertingkat di jalan protokol. Atau juga di daerah pinggiran kota.
Karenanya, kebijakan pembangunan Kota Medan semestinya memperhatikan
dan juga untuk kepentingan para rakyat kecil tersebut. Sebab, mereka juga punya
hak sama dengan kalangan menengah atas. Bahkan, para rakyat kecil ini juga ikut
berkontribusi menyediakan anggaran pembangunan melalui berbagai retribusi dan
pajak yang mereka bayar.
Suara para rakyat kecil seyogianya wajib didengarkan, saat Pemko Medan
menyusun maupun melaksanakan kebijakan pembangunan. Jangan cuma pada saat
pilkada saja suara rakyat kecil dibutuhkan. Dan setelah itu, rakyat kecil tak lagi
dianggap.
Dari kasus Rakesh ini, aku berkesimpulan bahwa Pemko Medan tak pernah
mendengar dan mengindahkan suara rakyat kecil. Kalau memang sudah ada program
zonasi untuk para pedagang K-5, layaknya zonasi itu dipersiapkan terlebih dahulu
dengan memperhatikan berbagai aspek. Setelah rampung, barulah pedagang K-5
digusur dari trotoar agar menghuni zonasi yang telah disiapkan tersebut.
Tapi yang terjadi tidak seperti itu. Main gusur saja. Artinya, tagline “Kolaborasi
Berkah” yang diusung Bobby Nasution, sesungguhnya tak lebih cumalah “Kolaborasi kolaborasi yang tak mengindahkan suara rakyatnya
Sejak setahun pemerintahan Bobby Nasution, aku terus menerus
menyebutkan bahwa yang terjadi bukanlah “Kolaborasi Berkah”, melainkan cumalah
“Kolaborasi Sor Sendiri”. Banyak proyek pembangunan yang dilaksanakan tanpa
mendengarkan dan mengindahkan suara rakyatnya. Proyek Lampu Pocong, Jalan
berkeramik, pengerjaan U-ditch, Revitalisasi Lapangan Merdeka, pembuatan median
jalan dari beton setinggi satu meter dan beberapa lainnya, semua itu memperkuat
pendapat saya tentang “Kolaborasi Sor Sendiri” tersebut.
Mangkanya…
Simbol Perlawanan
Maka, kolaborasi sor sendiri adalah kolaborasi yang tidak mengindahkan suara
rakyat. Dan itu sama artinya dengan kolaborasi yang mengabaikan etika. Tokh,
mendengarkan suara rakyat yang dipimpinnya, adalah bagian dari etika seorang
pemimpin.
Aku ingin mengutip dua kalimat penting untuk tulisan ini. Pertama, kalimat
yang popular akhir-akhir ini : “Seorang pemimpin yang mengabaikan etika, akan
mengelola pemerintahannya secara ugal-ugalan dan brutal”. Dan kalimat kedua,
sebuah petatah-petitih para leluhur : “Raja alim raja disembah, Raja zalim raja
disanggah”.
Aksi protes Rakesh adalah perlawanan terhadap pemimpin yang mengabaikan
etika, wujud dari “Raja zalim Raja disanggah”. Perlawanan Rakesh adalah perlawanan
karena priuk nasi keluarganya diganggu berulang kali, tanpa ada solusi nyata dari
Pemko Medan yang memang tak mau terlebih dahulu mendengarkan suara para
rakyat kecil tersebut.
Bahwa, perlawanan semacam itu sesungguhnya tak cuma dilakukan oleh
Rakesh sendiri. Banyak warga Kota Medan juga sudah melakukan perlawanan. Baik
melalui celoteh di media sosial, protes di media massa, demo ke kantor Walikota dan
juga menggugat secara hukum. Berbagai protes terhadap Lampu Pocong, Jalan
Berkeramik, proyek U-ditch, Revitalisasi Lapangan Merdeka, median jalan dan
sebagainya.
Namun semua protes dan perlawanan tersebut, tak pernah berujung dalam
bentuk penyelesaian yang setara, sebab perlawanan rakyat tersebut memang tak
pernah didengar oleh Bobby Nasution, dan kemudian memproduksi sikap apatis
warga terhadap Bobby Nasution.
Kenapa sikap Bobby Nasution seperti itu, tentunya tak lepas dari nasab sang
walikota. Terutama sebagai anak petinggi perkebunan, tidak lahir di Medan dan
sebelumnya Bobby memang nyaris tidak pernah beraktivitas di Kota Medan.
Ditambah lagi dengan nasab lainnya, di saat Bobby berumah tangga.
Sayangnya, banyak kita melihat aksi protes Rakesh hanya sebagai sebuah
tontonan belaka dari aksi nekat seorang rakyat kecil : diapresiasi banyak orang, viral
dan menjadi trending topic, namun kemudian senyap. Padahal, aksi Rakesh tersebut,
tanpa sadar telah membuka sedikit tabir tentang bagaimana Bobby Nasution
mengelola Kota Medan ini.
Akhirnya, semua warga Kota Medan yang waras -- siapapun dia -- pastilah
membutuhkan rasa nyaman. Sebagai Walikota, Bobby Nasution pasti membutuhkan
rasa nyaman di dalam memimpin warganya. Satpol PP membutuhkan rasa nyaman
di dalam menegakkan peraturan. Para warga membutuhkan rasa nyaman di dalam
menjalani kehidupannya sebagai warga kota.
Menciptakan rasa nyaman, itulah salah satu tugas penting seorang Walikota.
Untuk pelaksanaan tugas tersebut, rakyat menggaji dan memberi berbagai fasilitas
kepada Walikota, melalui pembayaran berbagai retribusi dan pajak.
Dan kalimat “Aku jijik sama Bobby” yang dilontarkan Rakesh saat itu, suka
atau tidak, adalah simbol perlawanan rakyat kecil terhadap pemimpinnya yang tidak
Dan kalimat “Aku jijik sama Bobby” yang dilontarkan Rakesh saat itu, suka
atau tidak, adalah simbol perlawanan rakyat kecil terhadap pemimpinnya yang tidak
mampu menciptakan rasa nyaman bagi warganya.
Mangkanya…
-----------------------------
*Penulis adalah Jurnalis, lahir dan menetap di Medan _ Coking Susilo Sakeh. Rel