SEJARAH GAMELAN SENI KARAWITAN

Share:

 

Ilustrasi


Garda.id | SEJARAH GAMELAN SENI KARAWITAN 




A. Kelahiran Gamelan Laras Slendro pada Masa Raja Syaelendra. 


Dalam sejarah peradaban Jawa, gamelan selalu mengiringi upacara ritual kenegaraan. Gamelan dipercaya dapat mendatangkan keselamatan. Nir bita nir baya nir sambikala. Hingga kini pun masyarakat tradisional tetap menempatkan gamelan sebagai sarana untuk memperoleh ketenangan lahir batin.


Misalnya keberadaan gamelan pada jaman kerajaan Mataram Dulangmas. Bumi Mataram yang beribukota di Dulangmas sedang dirundung duka nestapa. Wabah krasak menyerang warga perkotaan, pedesaan, pegunungan. Rakyat bingung, gelisah, menderita, tersiksa. Pageblug mayangkara harus segera diatasi. Peristiwa ini terjadi pada tahun 726. Dengan segala daya upaya Kanjeng Sinuwun Prabu Syaelendra berusaha mengatasi wabah penyakit menular.


Raja Mataram Dulangmas ini segera cancut taliwanda. Penasihat kerajaan Mataram Dulangmas terdiri dari para sarjana sujana ing budi. Mereka adalah orang yang pilih tanding, kebak ngelmu sipating kawruh. Anggotanya priyagung bergelar Empu, brahmana, pendeta, resi, wiku, Begawan, Kyai, Syekh yang menguasai ilmu agal alus, guno kasantikan, joyo kawijayan. Dewan pertimbangan agung Mataram di gedung Sitihinggil.


Hasil kesepakatan persidangan menetapkan Empu Yogiswara sebagai koordinator penanganan wabah krasak. Prabu Syaelendra mendukung penuh Empu Yogiswara yang terkenal sakti mandraguna , wicaksana ngerti sakdurunge winarah.


Langkah cepat dan tepat ini mendapat sokongan dari sahabat Prabu Syaelendra. Beliau adalah Sultan Harun Al Rasyid dari keturunan Bani Abbasiyah di Irak Timur Tengah. Kedatangan pimpinan raja sahabat meliputi kerajaan Mongol, Dinasti Mughal India dan para pembesar Melayu nusantara. Prabu Syaelendra sedang naik daun dalam kancah diplomasi internasional. Program unggulan Prabu Syaelendra yaitu membangun Candi Borobudur yang megah gagah nan indah.


Nama raja Mataram Dulangmas tersohor arum kuncara. Untuk melaksanakan titah suci Sri Baginda Mataram Dulangmas ini, Empu Yogiswara bergandengan tangan bersama rekan Begawan. Upacara awal dilakukan di puncak gunung Bibi. Letaknya 5 KM sebelah timur gunung Merapi. Bagi kawula Mataram, gunung Bibi lebih tua dan sakti daripada gunung Merapi. Tata cara ritual kedua berada di puncak gunung Tidar.


Syekh Subakir dan Kyai Lurah Semar bersemayam di gunung Tidar. Maka harus minta doa restu dulu pada tokoh Kejawen ini. Kegiatan meditasi ini berlangsung pula di puncak gunung Kendhalisada, gunung Ungaran dan Gunung Telamaya. Wibawa gunung gunung ini tertulis dalam serat Pustaka Raja Purwa. Olah puja brata ahli nujum terkabul. Wangsit yang didapat dari laku spiritual ini cukup penting.


Prabu Syaelendra harus menjalankan upacara ruwatan negari. Sarana pokok yang harus tersedia yaitu digelarnya seperangkat gangsa. Pusaka gangsa itu nanti perlu ditabuh oleh wiyaga dan waranggana yang mumpuni dalam hal olah gelaring seni edi peni budaya adi luhung.


Daya magis gangsa laras slendro diyakini akan menyingkirkan mara bahaya. Kata gangsa merupakan akronim dari kata tiga dan sedaya. Dalam hal ini gangsa merujuk pada campuran dua jenis logam. 


Komposisi gangsa terbuka dari nikel berjumlah tiga dan perunggu berjumlah sedasa. Gangsa atau tiga sedasa adalah perpaduan nikel perunggu yang menghasilkan logam berwarna gilap mengkilap kemerah merahan. Bentuk, rupa, wujud tampah indah menawan. Sudah barang tentu menjadi alat musik tabuh yang lux dan mahal. Gangsa menjadi sumber gengsi yang prestis bagi pemiliknya.

Orang demikian dikatakan sebagai wong sugih mbrewu singgih kang kadulu.


Alat musik gangsa ini amat merdu. Tempatnya di Balai terhormat. Pendapa joglo tampak megah mewah indah gagah. 


Cocok untuk meningkatkan wibawa bila menerima tamu agung. Bila ditabuh suara gangsa terdengar gemeter, gumleger, bergaung, berkumandang. Seolah olah keindahan dunia kumpul jadi satu. 


Untuk mewujudkan cita cita luhur ini tenaga dan dana Mataram dikerahkan. Untuk membuat seperangkat gangsa yang bermutu tinggi, Prabu Syaelendra terjun langsung di lapangan. Sesaji harus lengkap. Beliau sowan di petilasan para leluhur. 


Hajad kerajaan Mataram Dulangmas harus sukses menghilangkan wabah krasak. Sang Prabu yakin bahwa gangsa menjadi sarana tolak balak yang tangguh, wutuh, sepuh dang ampuh.


Empu Yogiswara membuat gangsa bertempat di daerah Bekonang, kaki gunung Lawu. Bahan dasarnya diambil dari gunung Sewu Baturetno.


Setiap hari malam Selasa Kliwon besalen gangsa dibawa ke daerah Langenharjo, tepi bengawan Ageng. Tim pembuat gangsa Mataram Dulangmas mesti kuat tirakat, dengan mesu budi cegah dhahar lawan guling. 


Bila bulan pinuju purnama sidhi harus tapa kungkum dan tapa ngeli. Jumbuh kang ginayuh, kasembadan kang sinedya. Apalagi ini tugas Kenegaraan, tim pembuat gangsa tentu tidak main main. Lila lan legawa kanggo mulyane negara.


Pada hari Senin wage para ahli nujum sama Poso mutih. Ahli metalurgi bekerja sungguh sungguh, mundhi dhawuh sang Prabu Syaelendra. 


Dalam kurun waktu telung pasar, pekerjaan besar rampung. Gangsa jadi paripurna dan siap berkumandang di pendopo Mataram Dulangmas. Prabu Syaelendra berbesar hati. Sesepuh pinisepuh Mataram memang punya daya linuwih kang ngedab edabi.


Penabuh gangsa diambil dari wilayah Gombang Pengging. Nak tumanak run tumurun orang Gombang pandai Olah tabuhan musik. Cara menabuhnya begitu terasa magis, mistis, wingit, angker berkharisma. Benar benar ngengreng mrebawani. 


 Suasana menjadi hening senyap, dhedhep tidhem premanem. Ketika gangsa berkumandang di bangsal pengrawit Sitihinggil Mataram Dulangmas keadaan jadi sepi. Pepohonan tidak bergerak, burung berhenti berkicau, angin istirahat berhembus. Prabu Syaelendra optimis bahwa ini tanda bahwa pageblug mayangkara segera sirna. Yakin pula bahwa Empu Yogiswara berhati bersih jernih.


Segala doa permohonan didengar oleh Tuhan. Inilah derajat badan kang wus salira bathara.


Awan yang menyelimuti bumi Mataram Dulangmas pelan pelan menyisih ke kanan dan ke kiri. Langit biru cerah bersinar. Sekalian orang sakit seketika sembuh. Warga Mataram Dulangmas bergembira ria. Daya magis pusaka gangsa kerajaan terbukti. Dengan sukarela rakyat turut serta memundi mundi pusaka gangsa. Jimat kerajaan harus dihormati oleh semua punggawa dan kawula.


Prabu Syaelendra memang kinasih ing dewa, kinawula ing widodari, cinedhak ing brahmana, suniyudan ing kawula dasih. 


B. Gendhing Patalon Menaklukkan Pageblug.


Prabu Syaelendra mengucapkan terima kasih pada tim pendita. Sedangkan Empu Yogiswara selaku ketua tim spiritual, malah merasa terhormat mendapat kepercayaan dari raja. 


Atas kemurahan Kanjeng Sinuwun Syaelendra dirinya dapat membantu rakyat banyak. Wabah krasak yang muncul dari cekungan sela matangkep dapat diredakan. Singgah singgah kala singgah. Pan suminggah Durga kala sumingkir.


Atas ijin dan restu sang Prabu, gangsa itu dipersembahkan kepada kerajaan Mataram Dulangmas. Empu Yogiswara memberi julukan gangsa Mataram dengan nama nada Syaelendra atau Laras Slendro.


 Syae artinya berbobot indah. Indra berarti raja linuwih. Penamaan laras slendro ini merupakan bentuk penghargaan kepada Prabu Syaelendra. Sedang gangsa yang dibuat ini pemeliharaannya mirip merawat kuda. Maka seperangkat gangsa disebut juga dengan istilah gamelan.


Musik gamelan laras slendro ini punya urutan nada ji ro lu mo nem. Bila berkumandang membuat perasaan merinding. Segenap makhluk halus Jim peri perayangan kalah wibawa. Mereka tunduk dan takluk dengan alunan gamelan laras slendro. Begitu peka, tajam, runcing nada laras slendro, maka disebut dengan istilah estetis yaitu seni karawitan.


Dalam seni karawitan nyata menampilkan barang indah, lengkap dan padu. Masing masing unsur punya posisi rawit yang sempurna. Fungsinya untuk menjaga keselarasan alam.


Pagelaran seni karawitan pada jaman Prabu Syaelendra selalu dimulai dengan alunan gendhing patalon. Gendhing ini berjumlah tujuh macam. Yakni gendhing cucur bawuk lambang kelahiran. Gendhing pareanom lambah masa anak anak. Gendhing lambang sari untuk masa pernikahan.


Gendhing sukma ilang lambang kesempurnaan, ayah ayak lambang niat suci. Gendhing srepeg lambang perjuangan. Gendhing sampak lambang keberhasilan.


 Kenyataan dalam sejarah, para raja lantas menggunakan gamelan sebagai sarana tolak balak. Gamelan menjadi sarana untuk menyuburkan tanah. Irama gamelan dipercaya oleh orang Jawa untuk mengusir hama tanaman. Dengan begitu tanah Jawa akan selalu subur makmur.


Dhandhanggula 


Japa mantra kinarya pambudi, 

Tinedhakan saking saking serat kekidungan, 

Minangka tulak sarike, 

Angajab berkahipun, 

Para ratu ing Tanah Jawi, 

Poma sagung kang maca, 

Den samya tuwajuh, 

Lahir batin sedyanira, 

Ing pangajab pikantuk nugraha asih, 

Ganjaraning Pangeran. 


Lamun ana wong kakandha kaki, 

Wong kabanda wong kabotan utang, 

Yogya wacanen den age, 

Nalika tengah dalu, 

Ping sewelas wacanen singgih, 

Luwar saking kabanda, 

Kang kadhendha wurung, 

Aglis nuli sinauean mring Hyang, 

Sukma kang utang puniku singgih, 

Kang agring nuli waras. 


Lamun arsa tulus nandur pari, 

Puwasaa sewengi sedina, 

Iderana galengane, 

Wacanen kidung iku, 

Sakeh ama sami abali, 

Yen sira lunga perang, 

Wateken ing sekul, antuka tigang pulukan, 

Musuhira rep sirep tan ana wani, 

Rahayu ing payudan. 


C. Masa Kelahiran Gamelan Laras Pelog Pada Jaman Majapahit


Kerajaan Majapahit berdiri tahun 1292. Raja Majapahit pertama adalah Raden Wijaya. Penunjukan sebagai raja berdasarkan asal usul, kepribadian dan kemampuan. Syarat itu secara lengkap ada pada diri Raden Wijaya.


Dalam dirinya mengalir darah keturunan kerajaan Medang, Kahuripan, Daha, Jenggala, Kediri, Singasari. Raden Wijaya sungguh trahing kusuma rembesing madu. 


Secara geneologis beliau paling berhak atas tahta kepemimpinan Jawa. Pancaran bangsawan yang berseri seri memunculkan aura kewibawaan. Cumlorot pindha kartika aliru pernah. Manther tejane pan yayah ri purnama sidi.


Kepribadian Raden Wijaya betul betul mengagumkan. Beliau ramah tamah kepada siapa saja. Hormat pada senior. Sayang pada yunior. Bisa kerja sama, suka tolong menolong. Mau berkorban, rela diri merugi. Kepentingan orang banyak dutamakan. Kepribadian Raden Wijaya bisa dicandra lewat tembang. 


dhandhanggula.


Trah kusuma prajurit sinekti, 

wus kawentar satriya utama, 

mumpuni kasarjanane.

Reh saniskara putus, 

wicaksana alus ing budi. 

Satriya mandraguna, tur rembesing madu. Wijining amaratapa, pinarcaya tedhaking andana warih, pagere nusantara.


Kemampuan Raden Wijaya meliputi bidang tata praja, menejemen, psikologi sosial, maritim, militer, diplomasi dan marketing. Jika diharapkan menjadi pimpinan kerajaan Majapahit, tentu bukan asal tunjuk. Arya Wiraraja selaku sesepuh yang berpengalaman telah menimbang dengan saksama ketrampilan Raden Wijaya dalam menyelesaikan beragam persoalan Kenegaraan. Raden Wijaya selalu tampil rikat trengginas. Cak cek tandang gawe.


Penobatan Raden Wijaya menggunakan iringan gamelan Laras Pelog. Kehadiran Laras pelog ini untuk melengkapi gamelan laras slendro yang lebih dulu. Laras slendro lahir pada jaman raja Syaelendra. Gendhing yang tersusun menggunakan notasi ji ro lu pat ma nem pi. Pelaku karawitan menyebut manis, jangga, dhadha, gawe, gati, rasa, barang. Nadanya agak miring. Sementara laras slendro bernada tegak.


Gendhing pakurmatan disusun oleh ahli dari Bali dan Pengging. Ahli karawitan dari Klungkung Bali menyajikan gendhing carabalen. Disain gamelan carabalen bisa bergerak pindah. Terdiri dari kendang jaler, kendang estri, gambyong, klenang, klenut, gambyong, penonthong, kempul nem dan gong Siyem. 


Suara ramai meriah. Maka cocok untuk menyambut tamu kehormatan. Protokol kerajaan Majapahit memberi daftar tamu undangan. Tiap turun kendaraan, gendhing carabalen berkumandang.


Tamu umum juga mendapat sajian gendhing kebo giro. Digarap oleh tim pengrawit dari Pengging. Mereka ahli dalam menata gendhing pahargyan. Pengalaman mereka dalam mengiringi tata cara penobatan raja Pengging sudah teruji. Kali ini tim pengrawit Gombang Pengging bertugas untuk membuat iringan penobatan Raden Wijaya. Harus disajikan dengan sakral.


Raden Wijaya hadir di pagelaran berkumandang gendhing Kodhok Ngorek. Segera pelantikan raja.


 Penobatan dilakukan oleh Empu Tanakung, Bramana Sepuh yang pernah bertugas di kerajaan Singasari. Begitu rampung sumpah penobatan, gendhing monggang menyambut berkumandang.


 Raden Wijaya lenggah di atas dhampar keprabon. Segera disusul bedaya Mojodasih. Suasana tampak regeng magis. Dhedhep tidhem permanem, tan ana sabawane. Walang alisik gegodhongan datan obah. Samirana tan lumampah.


Gendhing gleyong berkumandang. Ini menandai upacara sakral paripurna. Kembul bujana andrawina. Jamuan makan mengalir deras. Suguhan mbanyu mili. Alunan irama gambang, gender, kethuk, kenong, kempul. Dilengkapi dengan senggrengan rebab. Pesta kerajaan Majapahit memang mengagumkan. Pesta usai ditabuh gendhing udan mas.


Semua gendhing pahargyan untuk penobatan Raden Wijaya sebagai raja Majapahit menggunakan laras pelog. Tradisi berlangsung pula untuk penobatan raja Majapahit berikutnya. Prabu Jayanegara tahun 1314, Tri Buana Tungga Dewi tahun 1328, Prabu Hayamwuruk tahun 1350 meneruskan budaya adi luhung, seni edi peni. Menata negara diharapkan nut wiramaning gendhing.


Prabu Brawijaya membuat irama gendhing yang selaras dengan konsep kama arta darma muksa. Berakhir dengan proses kasampurnan. 


D. Pembagian Pathet Gamelan oleh para Wali


Kanjeng Sunan Bonang pada tahun 1479 mendapat tugas dari Kasultanan Demak Bintara. Sebagai ahli gendhing yang mumpuni, beliau bertugas untuk menyusun urutan penyajian gendhing. Mulai awal sampai akhir pertunjukan.


Manguwuh peksi manyura, 

wancine andungkap gagat rahina, saniskara wosing pagelaran, 

kang becik ketitik kang ala ketara. 

Awit iku pancen nyata. 

Becik ingkang widu mawayang, 

om awighnam hastumana.


Wali sanga mengusulkan kepada Raden Patah atau Kanjeng Sultan Syah Alam Akbar Patah Jimbun Sirullah I. Raja Demak Bintara mengundang para wali untuk membahas keutamaan gamelan. Mereka bersemangat sekali melakukan akulturasi budaya. Gendhing pagelaran wayang purwa dibagi menjadi tiga bagian. Pathet nem, pathet sanga dan pathet manyura. Itu melambangkan konsep ajaran Islam Iman Ikhsan, iman ilmu amal, cipta rasa karsa.


Garwa prameswari Raden Patah bernama Kanjeng Ratu Mas Panggung. Putri Sunan Ampel ini pada tahun 1486 menciptakan Bonang penerus. Guna melengkapi irama bonang barung. 


Pathet nem merupakan sad rasa. Enam rasa terdiri dari rasa manis, pahit, sepet, kecut, asin, pedhes. Keenam rasa itu harus seimbang. Adanya enam rasa dalam tubuh akan membuat diri sehat. Rukun iman jumlahnya ada enam. Seseorang menjadi kokoh bila meyakini enam rukun iman yang menjadi soko guru kehidupan. Agama ageming aji.


Pathet sanga merujuk pada babahan hawa sanga. Tubuh manusia terdiri dari sembilan lubang. Kesembilan lubang itu harus ditata, perlu dikelola dan mesti diatur. Itulah jalan keselamatan. Menurut meditasi yang betul. Seseorang harus berefleksi dan kontemplasi. Lenggah suluku tunggal, ngeningken cipta, megeng napas mendung swara,sajuga kang sinidhikara. Ana swara tan dirungu, ana ganda tan ingambu, ana rupa tan dinulu.


Pathet manyura merujuk pada kebaruan. Berhubung telah mampu membaca mobah mosiking kahanan. Manyura, manyar, keindahan dan kebaruan merupakan aspek kreativitas dan produktivitas. Sebegitu jauh pemikiran Wali Sanga dalam membaca tanda tanda jaman. Sampai pagelaran ngebyar, maka mata seolah olah mendapat pencerahan yang terang terus, terus terang. Beberapa sekolah di Yogyakarta mengajari karawitan untuk peserta didik. 


Kehadiran agama tampil sebagai rahmatan lil alamin, dengan memperhatikan Bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa. Para Wali yang memperoleh derajat makrifat, tentu menghendaki Tanah Jawa aman damai. Suasana Yogyakarta menjadi guyub rukun. 


Warisan luhur ajaran Sunan Bonang diterapkan oleh para pemimpin Jawa selanjutnya. Mulai dari Kasultanan Demak Bintara, Pajang, Mataram, Surakarta Hadiningrat, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Pakualaman. Pengalaman spirituan bunyi gamelan diperhatikan pula oleh segenap Bupati di Tanah Jawa. Warga Yogyakarta selalu menjadikan gamelan sebagai identitas bangsa. 


Daerah Bekonang Sukoharjo merupakan kawasan produksi gamelan. Ketrampilan membuat gamelan berlangsung secara turun tumurun. Sanggar Seni Pustaka Laras Yogyakarta turut nguri uri gamelan. 


Pengrajin gamelan lain dalam bentuk kecil kecilan terdapat di Loceret Nganjuk, Magetan dan Boyolali. Dengan demikian gamelan tetap bisa basuki lestari. Ki Ageng Trimanto melestarikan gamelan di daerah Yogyakarta.oleh ; purwadi.ref

Share:
Komentar

Berita Terkini